Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Bayangkan negara baru saja berhasil merebut kembali ratusan ribu hektare lahan sawit ilegal, tapi malah menitipkannya ke sebuah korporasi tanpa lelang, tanpa status hukum yang pasti, dan tanpa keahlian kehutanan. Inilah yang sedang terjadi dalam kasus Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan PT Agrinas Palma Nusantara, pasca terbitnya Perpres No. 5 tahun 2025 dari Presiden Prabowo Subianto.
![]() |
Ist |
Niat Presiden membentuk Satgas PKH untuk menyelamatkan kawasan hutan dari sawit ilegal adalah keputusan tepat. Tapi pelaksanaan teknisnya? Justru menjadi titik perusak kebijakan. Jadi anomali bukan?
*Dari satgas penertiban dan skema penyerahan ke Agrinas*
Menurut dokumen dan analisis Indonesian Audit Watch, sebanyak 833.413 hektare lahan sawit yang ditertibkan itu tidak dikembalikan ke Perum Perhutani atau KLHK, tapi langsung dititipkan ke PT Agrinas Palma Nusantara. Ini entitas anak perusahaan BUMN yang belum memiliki HGU, belum pernah mengelola hutan, dan belum diuji publik.
*Mengapa ini jadi masalah serius secara hukum?*
Penyerahan aset sebesar itu tanpa lelang atau tender terbuka jelas berpotensi melanggar sejumlah peraturan penting, diantaranya:
1. UU No. 1 tahun 2004, pada pasal 34, menyebut pengalihan aset negara harus melalui mekanisme lelang.
2. PP No. 27 tahun 2021 yang mengatur pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) butuh legalitas dan sertifikasi.
3. PP No. 24 tahun 2021, menyebut pelepasan kawasan hutan harus definitif, bukan status “abu-abu”.
4. Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, terkait penetapan kawasan hutan tidak bisa spekulatif.
Apalagi, data BPN menunjukkan bahwa seluruh lahan itu belum bersertifikat atas nama negara. Belum ada dasar hukum, tapi sudah dialihkan ke BUMN non-perum? Ini sudah masuk zona merah tata kelola negara!
Potensi uang negara sudah masuk atau baru wacana?
Simulasi yang konservatif saja cukup bikin kita terperangah:
- Luas lahan sawit: 833.413 hektar,
- Produktivitas: 20 ton TBS/ha/tahun,
- Harga TBS: Rp2.000/kg.
Maka potensi bruto pendapatan adalah kisaran Rp33,33 triliun per tahun.
Jika secara faktual yakni sejak Maret–Juli 2025, terhitung 5 bulan produksi maka ditemukan:
- Produksi ideal: ±5,98 juta ton,
- Pendapatan kotor: ±Rp11,96 triliun,
- Dividen 5% ke negara: ±Rp597 miliar
Kalaupun kita pakai skenario pesimistis (produksi hanya 50%), maka harus tetap ada pencatatan potensi Rp6 triliun lebih di dalam kas Agrinas. Apakah itu ada?
Pertanyaannya:
- Adakah dana sebesar itu benar-benar masuk ke kas negara?
- Atau hanya berputar di internal Agrinas yang belum pernah diaudit tersebut?
*Kenapa bukan Perhutani? Ini perbandingan terang-benderang*
Mari kita bedah perbandingan kedua entitas itu secara objektif. Pertama, dari sisi status hukum: PT Agrinas hanyalah anak perusahaan BUMN yang belum listed, belum masuk sistem keuangan negara sebagai perum atau persero dengan regulasi lengkap. Sementara Perum Perhutani adalah BUMN yang sudah diatur jelas dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, dengan fungsi dan tanggung jawab sosial serta keberlanjutan yang legal formal.
Kedua, soal keahlian: Agrinas memang bergerak di sektor sawit, tapi hanya sebatas industri hilir dan komersial murni. Tidak punya basis pengalaman dalam agroforestri, konservasi, atau pemberdayaan sosial. Perhutani sebaliknya, memiliki kompetensi lengkap yakni dari kehutanan, penanaman kembali (reboisasi), hingga pengelolaan berbasis masyarakat dalam skema perhutanan sosial.
Ketiga, aspek legalitas: sampai saat ini, Agrinas belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan PP No. 24 tahun 2021. Artinya, semua lahan sawit yang kini mereka kelola masih masuk dalam kategori "hutan negara" yang belum bisa dialihkan. Perhutani tidak punya masalah ini karena sudah sah mengelola hutan negara sejak lama.
Keempat, skema aset: Aset negara berupa kebun sawit ini dititipkan ke Agrinas tanpa proses lelang, tanpa tender terbuka, dan tanpa kejelasan dasar hukum penyerahan. Sebaliknya, Perhutani mengelola Barang Milik Negara (BMN) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Keuangan dan diaudit rutin oleh BPK.
Kelima, kontribusi ke negara: Agrinas hanya menyetor dividen dan pajak, dan itu pun tergantung pada untung-rugi korporasi. Artinya, jika mereka mengaku rugi, negara tidak dapat apa-apa. Sementara Perhutani punya tiga pintu pemasukan, yakni: PNBP (penerimaan negara bukan pajak), dividen, dan bahkan carbon credit dari penyerapan karbon hutan.
Keenam, rekam jejak operasi: Agrinas adalah entitas baru. Mereka belum punya rekam keberhasilan dalam mengelola kawasan hutan, apalagi yang rawan konflik. Sedangkan Perhutani sudah mengelola 2,4 juta hektare hutan di Pulau Jawa, termasuk ribuan kemitraan dengan masyarakat adat dan petani hutan.
Ketujuh, risiko konflik sosial: model pengelolaan ala Agrinas berisiko tinggi menimbulkan konflik agraria karena tidak melibatkan masyarakat lokal. Banyak tanah adat, tanah ulayat, hingga tanah transmigrasi yang tiba-tiba disebut sebagai "kawasan hutan" dan diambil alih. Perhutani lebih berpengalaman dalam pendekatan berbasis masyarakat, walau tetap perlu pengawasan ketat.
Jadi, negara mau apa, untung legal dan lestari bersama Perhutani, atau rugi diam-diam lewat Agrinas?
*Mari perhatikan simulasi carbon credit ala Perhutani*
Jika skema ini diserahkan ke Perhutani, maka negara bisa mengantongi lebih banyak lagi dari sisi pasar karbon:
- Serapan karbon: 34,2 ton CO₂/ha/tahun,
- Potensi total: 28,5 juta ton CO₂,
- Harga konservatif: Rp85.000/ton
Potensi penerimaan: ±Rp2,42 triliun per tahun.
Total potensi pendapatan dari sawit plus karbon dikisaran Rp10,6 triliun per tahun. Mengapa bukan skema yang terbaik ini diadopsi?
*Tiga kajian kritis lanjutan*
1. Skema Satgas PKH bersama Agrinas = berpotensi merugikan fiskal. Negara hanya dapat ±13% dari bruto. Tidak ada transparansi biaya dan hasil dan berpotensi kehilangan PNBP dan carbon credit
2. Timbul dan tumbuh-kembang konflik sosial sebab sawit di atas tanah adat dan hutan adat serta warga tergusur tanpa dialog. Itu berpotensi timbulkan konflik horizontal dan vertikal yang berkelanjutan di Sumut, Riau, Kaltim dan Sulsel. Dampaknya masif berupa perlawanan.
3. Uraian legalitas transaksi Agrinas:
- Melanggar PP 24/2021 karena belum ada putusan berbasis hukum terkait pelepasan hutan.
- Tidak sesuai UU 1/2004 karena barang milik negara (BMN) dialihkan harus melalui lelang.
- Melanggar prinsip tata kelola negara dalam UU BUMN
*Rekomendasi Indonesian Audit Watch*
1. Segera saja dilakukan audit investigatif oleh BPK, terhadap:
- Aliran dana Agrinas,
- Legalitas penyerahan kebun,
- Simulasi kerugian negara.
2. Kejaksaan Agung secepatnya membekukan aktivitas Agrinas itu hingga status hukum dinyatakan sah.
3. Presiden Prabowo idealnya meninjau ulang keputusan Satgas PKH, agar:
- Dikembalikan ke Perhutani ,
- Diterapkan skema rehabilitasi 60%,
- Disisakan 40% untuk kemitraan rakyat.
*Penutup: yang dilakukan Agrinas bukan tata kelola, malah menjadi tata curiga*
Kalau kebun sawit curian malah diserahkan ke BUMN tanpa dasar hukum yang sah, maka negara bukan sedang memberantas sawit ilegal. Jangan sampai negara (bukan hukum) justru sedang melegalkannya!
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar