Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Selamat datang di dunia investasi negara, tempat angka bisa berbicara, tetapi belum tentu bisa dipercaya.
![]() |
Iskandar Sitorus. Ist |
Indonesia Investment Authority (INA) mengklaim telah berhasil 'melipatgandakan' modal pemerintah menjadi Rp144 triliun dalam 4 tahun. Hebat? Tentu, kalau benar.
Tapi sayangnya, kita belum bicara audit. Kita belum bicara portofolio. Kita belum bicara transparansi. Dan yang paling gawat adalah kita belum tahu apakah uang itu benar-benar ada… atau hanya sekadar janji?
*Antara uang cair dan uang khayal*
Dalam dunia keuangan publik dan akuntansi, ada dua jenis uang:
1. Cash deployed atau uang yang sudah masuk ke proyek nyata.
2. Committed fund adalah janji manis yang bisa dibatalkan kapan saja.
Kalau dana dari investor Qatar, BlackRock, Abu Dhabi, CIC China baru berupa komitmen di atas dokumen kerja sama atau MoU, maka Rp144 triliun itu hanyalah angka khayalan, itu bukan hasil kerja riil.
Standar akuntansi Indonesia (PSAK 71) mewajibkan pemisahan eksplisit antara aset yang sudah masuk dan janji yang belum.
Maka kalau laporan INA mencampur aduk semuanya, itu bukan pencapaian. Itu pencitraan.
*Audit belum ada, tapi narasi klaim sudah mengudara*
Sampai hari ini, BPK belum melakukan audit kinerja terhadap efektivitas investasi INA. Baru audit keuangan saja.
Tidak ada laporan resmi soal multiplier effect, berupa serapan tenaga kerja, efek fiskal, atau penguatan sektor produktif.
Detail proyek juga tidak lengkap di situs INA, padahal UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14/2008 pasal 13 mewajibkan itu.
Yang ada hanya narasi 'INA sudah investasi di infrastruktur, digital, dan kesehatan.' Tapi proyek mana? Nilai berapa? Imbal hasil berapa persen?
*Belum bangun Kertajati, sudah dianggap sukses?*
INA bangga menyebut proyek strategis seperti kolaborasi dengan Qatar Airways untuk bandara Kertajati. Tapi cek dulu faktanya, apakah proyek itu baru tahap MoU! Bisa-bisa kontraknya belum jalan!
Apakah ini bentuk investasi? Atau bentuk jualan citra dengan label internasional?
*Risiko sistemik, siapa awasi INA?*
Yang lebih berbahaya adalah struktur pengawasnya. Komite Pengawas INA diisi oleh Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri ESDM. Tapi INA juga investasi di Pelindo, PLN, bahkan GoTo.
Jadi Menteri BUMN mengawasi dana negara yang ditanamkan ke BUMN-nya sendiri?
Apakah konflik kepentingan seperti ini dianggap normal? Perpres No. 74/2021 tidak memberi mekanisme "recusal" atau mekanisme pengunduran diri atau pengecualian diri dari suatu proses pengambilan keputusan karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest).
Jika seorang pejabat, menteri, atau anggota dewan memiliki hubungan pribadi, finansial, atau institusional dengan pihak yang akan diputuskan dalam suatu rapat atau investasi, maka dia wajib mengundurkan diri dari proses itu demi mencegah bias dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tanpa rasa malu, Indonesia justru bangga belum mengatur recusal secara eksplisit dan ketat dalam banyak regulasi lembaga pemerintah terlebih pada Perpres No. 74 tahun 2021 tentang INA tidak menyebut mekanisme recusal, meski anggota Komite Pengawas bisa memiliki benturan kepentingan.
Akibatnya, potensi abuse of power dan konflik kepentingan menjadi besar, terutama saat lembaga seperti INA berinvestasi pada BUMN yang pengawasnya berasal dari kementerian itu sendiri.
Padahal recusal adalah standar etika internasional untuk mencegah konflik kepentingan. Tanpa recusal, klaim tata kelola baik (good governance) menjadi kosong. Indonesia perlu mengatur recusal secara tegas, terutama di lembaga pengelola dana publik seperti INA agar tidak jadi jebakan 1MDB versi lokal.
*Mirip-mirip 1MDB Malaysia? Jangan sampai*
Kasus 1MDB di Malaysia dulu juga dimulai dengan janji investasi internasional. Di atas kertas, semuanya fantastis. Tapi tanpa transparansi dan audit independen, semua berubah jadi lubang hitam korupsi global.
Kalau INA tidak segera membuka seluruh portofolionya, membedakan mana dana cair dan mana yang belum, maka INA berisiko mengulang skenario buruk yang sama.
IAW menyerukan 4 hal ini:
1. BPK segera audit kinerja INA, bukan sekadar keuangan, dengan fokus pada dampak ekonomi dan imbal hasil riil.
2. Komisi informasi wajib panggil INA, karena publik berhak tahu proyek mana saja yang didanai.
3. Presiden perlu lakukan evaluasi menyeluruh, jangan terbuai angka semu.
4. KPK harus masuk bila ditemukan potensi conflict of interest atau pengaburan laporan dana publik.
*Kesimpulan: jangan pakai janji untuk bayar hutang*
Rp144 triliun yang diklaim INA wajib diuji, bukan hanya dipercaya. Karena dalam tata kelola keuangan negara, janji tidak bisa dipakai bayar utang, apalagi dijadikan alasan untuk membanggakan keberhasilan yang belum jelas ujungnya.
*INA harus menjawab, ini benar investasi, atau hanya investasi narasi?
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar