MEDAN, suarapembaharuan.com - Tokoh masyarakat Sumatera Utara, Dr. RE Nainggolan, MM, menyerukan kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL) agar menghindari tindakan kekerasan dan pendekatan represif dalam menyikapi konflik berulang dengan masyarakat adat di kawasan Tano Batak. Ia menegaskan bahwa penyelesaian damai melalui dialog adalah satu-satunya jalan untuk menghindari kerusakan sosial yang lebih dalam.
“Saya mengimbau bahkan mendesak PT TPL untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan atau represif. Pendekatan seperti itu hanya akan memperburuk situasi dan menyisakan luka sosial yang panjang. Penyelesaian damai harus dikedepankan,” ujar RE Nainggolan dalam pernyataannya, Sabtu (24/8).
Konflik antara PT TPL dan sejumlah komunitas adat kembali mencuat ke permukaan setelah laporan terbaru menyebutkan adanya dugaan perusakan lahan adat, kriminalisasi tokoh masyarakat, hingga intimidasi terhadap warga di beberapa wilayah, termasuk Parmonangan dan Sihaporas. Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga telah mengecam tindakan represif yang ditengarai melibatkan unsur aparat dan petugas keamanan perusahaan.
Yang terbaru, perusahaan penghasil pulp itu diduga melakukan penggusuran terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Kamis (7/8/2025).
Penggusuran itu juga terekam di media sosial. Sejumlah akun mengungkap dugaan aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah orang terhadap masyarakat. Dari kubu masyrakat adat, menuding para terduga pelaku penggusuran dan kekerasan itu merupakan karyawan PT TPL.
Konflik agraria antara PT TPL dengan masyarakat sudah berlangsung sejak lama. Bahkan konflik ini sudah banyak memakan korban dari kedua kubu.
RE Nainggolan, yang pernah menjabat sebagai Bupati Tapanuli Utara periode 1999–2004 dan Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara 2008–2010, dikenal sebagai birokrat senior yang vokal dalam isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial.
“PT TPL harus menunjukkan sikap yang lebih bijak dan beretika dalam menjalankan usahanya. Masyarakat adat memiliki hak yang harus dihormati. Jangan sampai konflik yang berlarut-larut ini merusak tatanan hidup bersama yang selama ini dijaga,” tegasnya.
Ia juga mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk hadir secara aktif sebagai mediator dan memastikan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat yang kerap menjadi korban ketimpangan kekuasaan dan ekonomi.
“Sudah saatnya semua pihak menahan diri. Mari jaga Tanah Batak ini dengan nilai-nilai luhur, bukan dengan intimidasi atau kekerasan,” pungkasnya.
Konflik antara PT TPL dan komunitas adat di wilayah konsesi perusahaan tercatat telah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejumlah komunitas adat telah mengajukan klaim pengakuan wilayah adat mereka, dan sebagian telah diakui oleh negara. Namun, ketegangan terus terjadi di lapangan, terutama terkait tumpang tindih klaim lahan dan aktivitas industri kehutanan yang dinilai merugikan masyarakat adat.
Pemblokiran Jalan
Sebelumnya, RE Nainggolan juga mendesak PT TPL agar lebih bijaksana dalam menyikapi konflik dengan warga Dusun Nagasaribu Siharbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).
Pernyataan tersebut disampaikan RE Nainggolan menanggapi pemblokiran akses jalan menuju lahan pertanian warga yang dilakukan oleh TPL.
RE Nainggolan menegaskan seharusnya TPL sudah memahami pentingnya membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar.
"Mereka bukan baru beroperasi di sini. Sudah seharusnya mereka memahami dinamika dengan warga dan belajar dari pengalaman agar tidak terjadi konflik berulang," ujarnya beberapa waktu lalu.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar