Link Banner

Membangun Budaya Organisasi Humanis Melalui Kepemimpinan Situasional

Oleh : Imam Nur Suharno

Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat 


Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan untuk menjalin hubungan satu dengan yang lainnya, dalam mencapai tujuan hidupnya. Untuk membangun sinergitas hubungan itu diperlukan sosok pemimpin yang mampu melaksanakan dan memandu kehidupan masyarakat demi terwujudnya kebaikan bersama.


Imam Nur Suharno

Kepemimpinan hakikatnya adalah proses mempengaruhi orang lain. Para ahli manajemen menyatakan bahwa tidak ada satu gaya yang paling baik. Bahkan, jauh lebih efektif bila seorang pemimpin menggunakan beberapa gaya kepemimpinan. Pendekatan ini dikenal dengan gaya kepemimpinan situasional.


Gaya kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan yang bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya dalam mendorong atau mengarahkan para bawahan sesuai tingkat perkembangan dan kematangan orang-orang yang dipimpinnya.


Gaya kepemimpinan situasional dikenal pula sebagai kepemimpinan tidak tetap (fluid). Asumsi yang digunakan dalam gaya ini adalah tidak ada satu gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi. Karena itu, gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor seperti pemimpin, pengikut, dan situasi (dalam arti struktur tugas, peta kekuasaan, dan dinamika kelompok). 


Gaya kepemimpinan seseorang bersifat situasional. Dalam prakteknya, tidak ada seorang pimpinan yang konsisten menggunakan satu gaya kepemimpinan. Efektivitas kepemimpinan tergantung pada kemampuannya membaca situasi dan menyesuaikan gaya dengan situasi sedemikian rupa sehingga efektif menjalankan fungsi kepemimpinan.


Pada gaya kepemimpinan situasional menuntut seorang pemimpin mengubah-ubah gaya kepemimpinannya tergantung situasi dan kondisi sesuai tingkat kematangan orang-orang yang dipimpinnya. 


Untuk orang (bawahan) yang tergolong pada tingkat kematangan, yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan perlu membuka komunikasi dua arah, yaitu untuk membantu bawahan dalam meningatkan motivasi kerjanya. 


Bawahan yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas tanggungjawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan. 


Sedangkan gaya delegasi adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan di mana mereka harus melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya. 


Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerja akan meningkat. 


Kepemimpinan situasional (situational leadership) ini terdiri dari empat macam gaya. Pertama, pengarahan (directing). Gaya ini dicirikan dengan memberikan intruksi kepada bawahan, pimpinan melakukan supervisi yang ketat atas kinerja mereka, dan melakukan hampir semua pengambilan keputusan dan pemecahan masalah oleh pimpinan sendiri. Gaya ini cocok diterapkan pada mereka yang baru bekerja pada suatu lembaga, atau mereka yang tidak memiliki kemampuan dan kinerja cukup baik, atau bila berada dalam suatu krisis dan tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan konsultasi dengan bawahan. 


Kedua, konsultasi atau bimbingan (consultative atau coaching). Gaya ini meminta pemimpin untuk tetap memberikan pengarahan tetapi mulai melibatkan bawahan lebih banyak dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Gaya ini disempurnakan dengan meminta opini pribadi bawahan, mengajukan pertanyaan untuk dijawab, dan menunjukkan minat pada mereka sebagai seorang individu. Gaya ini cocok diterapkan jika bawahan bukan seorang pemula tetapi belum mencapai tingkat keterampilan tinggi atau belum memiliki kepercayaan diri atas kemampuannya dalam menangani tugasnya.


Ketiga, dukungan (supporting). Pimpinan menggunakan gaya ini bila bawahan mampu melakukan tugasnya, namun tidak cukup memiliki kepercayaan diri. Dalam hal ini, peran pimpinan adalah menguatkan suara mereka dan menjadi mitra diskusi bagi pemecahan masalah. Pimpinan bukan orang yang wajib memecahkan masalahnya tetapi pimpinan memberikan dukungan serta keberanian agar mereka mampu memecahkan masalah itu sendiri. 


Keempat, delegasi (delegating). Pimpinan menggunakan gaya ini pada bawahan yang telah terampil dan memiliki kepercayaan diri atas kemampuan mereka melakukan tugas-tugasnya. Dalam banyak hal, bawahan pada tingkat ini mampu me-manage diri sendiri dan hanya datang pada pimpinan untuk membicarakan tugas-tugas baru atau mereka membutuhkan pimpinan. Bagaimana pun, tetaplah diingat bahwa jika pemimpin menggunakan gaya ini sebelum bawahan benar-benar siap, mereka malah akan merasa pimpinan sedang bertingkah seperti bos saja.


Pemimpin yang efektif menempatkan dirinya sesuai dengan karakter orang yang dipimpin. Menurut Thariq Muhammad as-Suwaidan, empat tipe bawahan berdasarkan tingkat kemampuan dan motivasi diri. Dengan adanya perbedaan tipe bawahan seorang pemimpin yang efektif harus bisa beradaptasi dengan perbedaan mereka dalam memberikan instruksi dan motivasi.


Pertama, jika bawahan adalah seorang yang bersemangat, namun minim dalam hal kemampuan, seorang pemimpin harus menambah bimbingan dan tidak terlalu banyak memberikan dorongan atau motivasi.


Kedua, jika bawahan adalah seorang yang memiliki semangat rendah dan sedikit kemampuan, seorang pemimpin harus memberikan orientasi dan motivasi yang simultan.


Ketiga, jika bawahan adalah seorang yang memiliki potensi dan kemampuan, tapi kurang bersemangat, bawahan seperti itu lebih membutuhkan motivasi daripada orientasi.


Keempat, jika bawahan adalah seorang yang memiliki kemampuan, semangat, dan komitmen tinggi, ia hanya membutuhkan asistensi. Bawahan seperti itu tidak terlalu membutuhkan motivasi atau orientasi. Tipe bawahan seperti ini sebaiknya diberi kesempatan yang luas untuk berbuat.


Dalam model Hersey dan Blanchard, bahwa seorang pemimpin merubah gaya kepemimpinannya untuk menyesuaikan dengan orang yang dipimpin. Hersey dan Blanchard membagi bentuk-bentuk kepemimpinan menjadi empat tipe.


Pertama, nasihat/arahan (telling/directing). Bawahan yang selalu diawasi oleh atasan, tugasnya dibatasi oleh atasan dan atasan yang akan membuat keputusannya. Komunikasi adalah kuncinya. Dukungan yang rendah ketika komitmen bawahan tinggi.


Kedua, promosi/melatih (selling/coaching). Atasan membatasi tugas dan menetapkan keputusan. Tetapi atasan juga meminta saran dari bawahan. Komunikasi ialah cara ke dua. Dukungan dan arahan adalah solusi terbaik untuk menutupi kekurangan kompetensi dan komitmen bawahan.


Ketiga, partisipasi/dukungan (participating/supporting). Bawahan akan membuat ketetapan tugas-tugas hariannya meskipun pimpinan atau atasan akan memfasilitasi pembuatan ketetapan tersebut. Kompetensi yang tinggi dari bawahan, sehingga atas memberikan sedikit arahan. Namun bagaimanapun juga sebagai bawahan tetap memerlukan dukungan dan semangat yang tinggi dari atasan.


Keempat, pendelegasian/pengamatan (delegating/observing). Bawahan akan membuat ketetapan dan memutuskan bagaimana dan kapan saatnya untuk melibatkan atasan. Sedangkan bawahan yang mempunyai kompetensi dan komitmen tinggi, mereka hanya membutuhkan sedikit dukungan dan arahan dari atasan.


Jika gaya kepemimpinan situasional ini diimplementasikan secara baik maka akan dapat mempengaruhi budaya organisasi yang humanis dan dinamis. Semoga.


Kategori : Opini


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama