Link Banner

Pesta atau Perenungan: Mengulas Ulang Makna di Setiap Peringatan Tahun Baru

Oleh: Shilva Lioni

Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas


Setiap kali kalender menunjukkan pergantian tahun, masyarakat Indonesia pada umumnya berbondong-bondong menyambut dan merayakannya dengan berbagai kegiatan seperti berkeliling kota dan menikmati kuliner bersama keluarga, melihat kembang api pada perayaan malam tahun baru di pusat kota, pesta semalam suntuk, ataupun bakar-bakar makanan baik jagung maupun ayam di rumah keluarga ataupun kerabat. Dibalik perayaan setiap tahun baru, menyimpan sebuah kekhasan masing-masing dimana Tahun Baru Masehi cenderung dirayakan dengan gegap gempita, penuh euforia, dan hiburan, sementara ketika 1 Muharram tiba, suasana jauh berbeda menjadi sebuah peringatan yang lebih bersifat religius dan tenang.


Shilva Lioni

Setiap pergantian tahun, dunia seolah sepakat untuk larut dalam euforia. Langit dihiasi kembang api, jalanan dipenuhi suara terompet, dan media sosial dipadati oleh resolusi dan ucapan selamat Tahun Baru Masehi maupun Islam yang terkadang sekadar seremonial. Kita hidup dalam budaya yang menyukai perayaan dan hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Perayaan bisa menjadi bentuk syukur, kebersamaan, dan harapan. Namun, yang sering kali luput dalam setiap perayaan adalah ruang untuk introspeksi. Di balik hitung mundur, pesta kembang api, konser, obor dan pawai, kita lupa bahwa waktu yang berlalu adalah kesempatan yang tak akan kembali.


Setiap orang mengalami pergantian tahun, tapi tidak semua mengalami perubahan hidup. Banyak orang hanya sekadar mengganti kalender tanpa mengganti arah hidup. Kita menulis resolusi, tapi tetap dengan pola lama. Kita berharap tahun baru lebih baik, tapi tanpa perubahan nyata. Pada Tahun Baru Masehi misalnya, momentum ini lebih banyak dirayakan dalam konteks hiburan daripada refleksi. Bahkan istilah "resolusi tahun baru" kerap menjadi slogan klise tanpa tindak lanjut. Kesenangan sesaat seakan mengaburkan substansi bahwa pergantian tahun seharusnya mengingatkan kita pada tanggung jawab dan arah hidup.


Sementara itu berbeda dengan Tahun Baru Masehi, secara filosofis Tahun Baru Islam memiliki makna yang jauh lebih dalam. Ia merujuk pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, yang mana bermakna bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga simbol transformasi sosial, spiritual, dan peradaban. Bagi umat islam, 1 Muharram adalah momentum muhasabah, refleksi diri, dan hijrah menuju kebaikan. 


Beberapa waktu lalu kita baru saja memperingati Tahun Baru Islam. Sedikit berbeda dengan Tahun Baru Masehi, nuansa perayaan pada Tahun Baru Islam cenderung lebih formal seperti diisi oleh ceramah agama, doa bersama, atau pawai obor di sebagian daerah. Tahun baru Islam sangat diidentikkan dengan peristiwa Hijrah. 


Hijrah dalam hal ini bukan hanya peristiwa historis yang diperingati dalam buku pelajaran agama, namun merupakan simbol transformatif dalam Islam yakni perpindahan dari ketertindasan menuju kebebasan, dari gelap menuju cahaya, dari pasrah menuju perjuangan. Nilai-nilainya sangat relevan dengan kehidupan masa kini seperti keberanian untuk berubah, komitmen terhadap kebaikan, dan keteguhan dalam menjalani prinsip. Namun ironisnya, realitanya banyak umat Islam mungkin meminggirkan makna ini. Peringatan 1 Muharram per saat ini seakan hanya menjadi formalitas di kalender. Hampir tidak ada refleksi mendalam, tidak ada kampanye transformasi moral yang masif, tidak ada gaung spiritual yang menggugah. 


1 Muharram bukan milik sejarah, tapi milik kita hari ini. Ia bukan sekadar peringatan, tapi panggilan. Panggilan untuk memulai lagi, untuk memperbaiki, dan untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.


Lebih lanjut, baik itu Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Islam sama-sama merupakan momen pergantian waktu yakni disaat yang satu mengajak kita merayakan, yang lain mengajak kita merenung. Keduanya penting, namun alangkah lebih utuh bila kita mampu menyeimbangkan keduanya yakni menyambut awal tahun dengan suka cita, tapi juga dengan makna dan kesadaran karena pada akhirnya waktu akan terus berjalan. Yang menentukan nilai pergantian tahun bukan hanya bagaimana kita merayakannya, tetapi bagaimana kita menggunakannya untuk menjadi manusia yang lebih baik. 


Akhirnya, tahun baru, apa pun sistem kalendernya harus menjadi pengingat arah. Bukan hanya tentang pergantian angka, namun juga berganti sikap. Bukan hanya soal pesta, tapi juga perenungan karena sejatinya pesta membuat kita senang, perenungan membuat kita tumbuh. Dunia boleh merayakan dengan pesta, tapi kita perlu memastikan bahwa jiwa kita ikut berhijrah karena usia tak sekadar bertambah, tetapi juga berkurang. Jangan habiskan tahun baru hanya untuk bersenang-senang namun gunakan juga untuk menata langkah dan menyadari tujuan hidup.


Kategori : News


Editor     : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama