Oleh: Tosim Gurning, Anggota Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
*Babak awal tanah negara yang diperlakukan seperti tanah pribadi*
Di atas kertas hukum, eks-HGU PTPN II adalah tanah negara murni. Pasal 2 UUPA dan pasal 129 PP 18/2021 juga dengan jelas tegas menyatakan bahwa saat HGU berakhir, tanahnya kembali ke negara. Bahkan Perpres 86/2018 dengan detail menegaskan tanah negara eks-HGU harus masuk daftar Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), untuk dibagi ke rakyat melalui GTRA.
![]() |
Ilustrasi |
Tapi di Sumatera Utara, aturan ini seperti tinta yang dihapus sebelum kering. BPN Kanwil Sumut lewat Surat No. HP.03.01/1733-12.300/VII/2025 memilih jalur berbeda, yakni mengubah status tanah negara itu menjadi “aset negara” yang bisa dikelola PTPN II, padahal itu membuka pintu lebar-lebar untuk pengembang swasta.
*Babak di Deli Serdang saat pengembang masuk, rakyat disingkirkan*
Kisah ini meledak di Deli Serdang. Tanah eks-HGU yang dulunya dikelola petani puluhan tahun, kini berdiri kompleks mewah. Ciputra Group adalah salah satu nama besar yang masuk daftar.
Yang mengejutkan, BPN Deli Serdang bilang mereka “masih menunggu arahan gubernur” untuk memutuskan status tanah itu. Padahal hukum tak pernah memberi mandat pada gubernur untuk mengatur eks-HGU; mandat itu milik GTRA dan BPN Pusat. Aneh bukan? Tapi itu justru dilskukan BPN.
Bagi aktivis agraria, kalimat “menunggu arahan gubernur” itu bukan sekadar formalitas, tetapi itu lebih pada kode bahwa politik dan bisnis sedang bermain di atas tanah negara.
*Pola yang terbaca di laporan BPK*
Dari catatan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sepanjang 2008 hingga 2023, terlihat jelas pola penyimpangan yang konsisten, yaitu tanah negara eks-HGU PTPN II tidak diarahkan untuk kepentingan rakyat melalui reforma agraria, melainkan dibiarkan, bahkan difasilitasi, untuk dikuasai oleh pihak ketiga.
Audit pertama pada 2008 (LHP No. 26/LHP/XVIII.MDN/12/2008) mencatat 2.150 hektare HGU telah dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum. Tidak ada bukti proses redistribusi kepada masyarakat sebagaimana amanat Perpres Reforma Agraria.
Lalu pada 2016, BPK kembali menemukan pelanggaran serius (LHP No. 18/LHP/XVIII.MDN/03/2016): 1.500 hektare disewakan tanpa izin yang sah, menimbulkan potensi kerugian negara Rp 1,8 triliun. Modusnya sederhana tapi fatal, yakni tanah negara diperlakukan seperti properti komersial swasta.
Temuan 2021 (LHP No. 23/LHP/XVIII.MDN/06/2021) mengungkap ada 1.243 hektare HGU aktif yang tidak digunakan, sehingga negara kehilangan potensi pemanfaatan untuk kepentingan publik maupun pendapatan negara.
Dan puncaknya, pada 2023 (LHP No. 07/LHP/XVIII.MDN/04/2023), BPK menemukan pengalihan tanah eks-HGU ke pengembang properti tanpa melalui mekanisme tender, menimbulkan kerugian negara setidaknya Rp 3,4 triliun setiap tahun.
Deretan temuan ini bukan sekadar opini atau klaim aktivis. Semua adalah hasil audit resmi lembaga negara, sah secara hukum, dan dapat langsung dijadikan alat bukti di pengadilan. Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa masalah eks-HGU PTPN II bukan sekadar sengketa lahan, tapi pola pelanggaran terstruktur yang merugikan negara triliunan rupiah.
*Jejak pidana ketika kasus naik ke penegak hukum*
Penyimpangan itu tidak berhenti di meja administrasi. Terlihat pada sidang Tipikor Medan (2018), Hakim divonis karena menerima suap untuk memenangkan sengketa eks-HGU.
KPK tahun 2020 menerima aporan dugaan korupsi penjualan tanah eks-HGU oleh mantan Dirut PTPN II. Dan Polda Sumut tahun 2022 melakukan penyidikan jual-beli ilegal melibatkan oknum BPN.
Semua kasus ini punya benang merah yaitu tanah eks-HGU jadi komoditas gelap di pasar properti, dan aktor utamanya justru mereka yang punya kewenangan.
*Korban yang terlupakan*
Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) sudah sejak 2011 mengajukan eks-HGU untuk TORA. Mereka punya bukti penggarapan turun-temurun, bahkan citra satelit yang memperlihatkan ladang produktif sebelum pengosongan paksa 2020–2023.
Namun, alih-alih ditetapkan sebagai TORA, tanah itu malah jadi masuk proyek komersial. Petani kehilangan sumber hidup; pengembang mendapatkan sertifikat; dan BPN cukup berkata: “*Kami menunggu arahan gubernur*.”
*Kesimpulan: Akar Masalah ada di BPN*
Kasus Deli Serdang bukan anomali, karena ia adalah potret utuh bagaimana BPN menggeser mandat agraria menjadi proyek komersial. Dengan manipulasi istilah “aset negara”, BPN menghapus jalur reforma agraria dan itu sekaligus memberi jalan bagi PTPN II dan pengembang menguasai tanah negara. Sangat sadis perilaku komplotan tersebut.
*Rekomendasi IAW*
1. Cabut SK BPN No. 42-44/2002 karena bertentangan dengan UUPA dan Perpres 86/2018.
2. Audit Investigatif oleh BPK dengan fokus pada aliran dana proyek permukiman di atas eks-HGU.
3. Penyidikan KPK/Kejagung guna jerat pejabat BPN, PTPN II, dan pengembang yang terlibat.
4. Judicial review oleh publik guna hapus frasa “aset negara” di PP 18/2021 pasal 129.
5. Percepatan GTRA untuk tetapkan seluruh eks-HGU PTPN II sebagai TORA tanpa intervensi politik.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar