Boni Hargens: Reposisi Kelembagaan Polri Model Prabowo

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Keputusan Presiden Prabowo Subianto menunjuk Satuan Penyelenggara Pangan Gizi (SPPG) Polri sebagai model nasional pengelolaan pangan bergizi menandai babak baru dalam transformasi institusional kepolisian Indonesia. Presiden menempatkan Polri dalam peran strategis sebagai agen pembangunan sosial.


Boni Hargens. Ist

Menurut Boni Hargens, analis politik dan isu intelijen, kebijakan tersebut memantulkan arah reformasi fundamental yang meredefinisi posisi Polri dalam ekosistem pembangunan nasional. “Transformasi ini mengubah narasi tentang peran institusi keamanan dalam demokrasi modern Indonesia. Polri tidak lagi dipandang semata sebagai aparatur penegak hukum, tetapi sebagai mitra strategis dalam akselerasi pembangunan manusia. Pendekatan ini mencerminkan pemahaman mendalam bahwa ketahanan nasional tidak hanya dibangun melalui kekuatan koersif, tetapi juga melalui investasi pada kesejahteraan dan kapasitas masyarakat”tegas doktor filsafat lulusan Universitas Walden, Amerika Serikat, tersebut yang saat ini sedang menempuh studi ilmu hukum. 


Reposisi kelembagaan ini sejalan dengan tren global di mana institusi keamanan semakin terlibat dalam program pembangunan sosial. Namun, konteks Indonesia memberikan dimensi unik: dengan tantangan geografis berupa 17.000 pulau dan keragaman sosial-ekonomi yang luas, jangkauan institusional Polri menjadi aset strategis untuk memastikan pemerataan akses terhadap pangan bergizi.


Satuan Penyelenggara Pangan Gizi (SPPG) Polri merepresentasikan inovasi kelembagaan yang merespons kompleksitas tantangan gizi dan pangan di Indonesia. Program ini dirancang bukan hanya untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan, tetapi juga untuk memastikan kualitas nutrisi yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia.


Keunggulan model SPPG terletak pada kombinasi antara kapasitas organisasional Polri yang tersebar hingga tingkat desa dengan pemahaman konteks lokal yang mendalam. Struktur komando yang jelas memungkinkan implementasi program yang cepat dan terkoordinasi, sementara kedekatan dengan masyarakat memfasilitasi adaptasi program sesuai kebutuhan spesifik setiap wilayah.


Ketahanan Sosial: Fondasi Pembangunan Manusia Berkelanjutan

Boni menilai bahwa kebijakan pangan bergizi ini sesuatu yang fundamental. Pertama, investasi generasi masa depan. Pangan bergizi sebagai prasyarat pembentukan sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing di era global. Kedua, pemerataan akses dalam konteks menghilangkan kesenjangan akses pangan bergizi antara perkotaan dan pedesaan, serta antar wilayah Indonesia. Ketiga, jaminan bagi kohesi sosial karena ketahanan pangan memperkuat stabilitas sosial dan mengurangi potensi konflik yang dipicu oleh ketimpangan ekonomi.


Konsep ketahanan sosial yang diusung melalui program SPPG Polri melampaui definisi konvensional keamanan nasional. Ia mengakui bahwa ancaman terhadap kesejahteraan rakyat—termasuk malnutrisi dan ketidakamanan pangan—dapat menggerus stabilitas sosial dan menghambat pencapaian potensi maksimal bangsa. Pendekatan ini mengintegrasikan dimensi kesehatan publik, pembangunan ekonomi, dan kohesi sosial dalam satu kerangka kerja terpadu.


Akselerasi pembangunan manusia menjadi kunci dalam konteks persaingan global yang semakin ketat. Investasi pada gizi dan kesehatan masyarakat hari ini akan menentukan kualitas angkatan kerja, inovasi, dan daya saing ekonomi Indonesia dua hingga tiga dekade mendatang. Program SPPG memposisikan Polri sebagai fasilitator proses transformasi jangka panjang ini, bukan hanya sebagai responden terhadap krisis pangan yang bersifat ad-hoc.


Asta Cita: Kerangka Strategis Pemerintahan Prabowo-Gibran

Kebijakan penunjukan SPPG Polri tidak dapat dilepaskan dari konteks lebih luas Asta Cita, delapan pilar kebijakan nasional yang menjadi peta jalan pemerintahan Prabowo-Gibran menuju visi Indonesia Emas 2045. Asta Cita berfungsi sebagai dokumen strategis yang mengintegrasikan berbagai agenda pembangunan sektoral dalam satu narasi koheren tentang masa depan Indonesia.


Setiap pilar Asta Cita saling terkait dan memperkuat. Kedaulatan pangan tidak mungkin tercapai tanpa reformasi birokrasi yang efektif. Keadilan sosial memerlukan pemerataan pembangunan infrastruktur. Pertahanan yang kuat bergantung pada kesejahteraan rakyat yang terjamin. Inilah logika integratif yang mendasari penunjukan SPPG Polri—sebuah intervensi yang menyentuh setidaknya empat pilar sekaligus: kedaulatan pangan, keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan reformasi birokrasi melalui inovasi kelembagaan.


Kedaulatan Pangan: Pilar Pertama Asta Cita dan Relevansinya dengan SPPG

Kedaulatan pangan, energi, dan air menempati posisi pertama dalam hierarki Asta Cita, mencerminkan prioritas strategis pemerintahan baru terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Dalam konteks pangan, kedaulatan bukan sekadar ketersediaan kalori, tetapi kemampuan nasional untuk menentukan sistem pangan yang berkelanjutan, adil, dan berbasis pada potensi lokal.


Program SPPG Polri merupakan instrumen operasionalisasi visi kedaulatan pangan ini. Melalui SPPG, negara tidak hanya memastikan distribusi pangan, tetapi juga membangun sistem yang memperkuat kapasitas produksi lokal, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan resiliensi terhadap guncangan eksternal seperti krisis iklim atau volatilitas harga global.


Kedaulatan pangan juga memiliki dimensi geopolitik. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan kerentanan terhadap perubahan iklim, Indonesia tidak dapat mempercayakan ketahanan pangannya sepenuhnya pada mekanisme pasar global. SPPG Polri, dengan jangkauan teritorial yang luas, menjadi mekanisme kontrol negara untuk memastikan tidak ada wilayah atau kelompok masyarakat yang tertinggal dalam akses terhadap pangan bergizi.


Penunjukan Satuan Penyelenggara Pangan Gizi (SPPG) Polri sebagai model nasional pengelolaan pangan bergizi merepresentasikan keberanian pemerintahan Prabowo-Gibran dalam melakukan terobosan kebijakan yang tidak konvensional namun strategis. Seperti dianalisis oleh Boni Hargens, ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan redefinisi fundamental tentang peran institusi keamanan dalam demokrasi modern Indonesia.


Kebijakan ini sejalan dengan semangat Asta Cita, khususnya pilar kedaulatan pangan dan reformasi birokrasi, serta mengintegrasikan berbagai dimensi pembangunan—kesehatan, ekonomi, sosial, dan keamanan—dalam satu kerangka kerja holistik. Pendekatan ini mengakui bahwa pembangunan manusia berkelanjutan memerlukan intervensi multi-sektoral yang melampaui batasan-batasan kelembagaan tradisional.


Maka, pelibatan Polri dalam pelaksanaan kebijakan pangan gratis pemerintahan Prabowo-Gibran menurut Boni Hargens, mencermikan transformasi institusional. Polri berevolusi dari penegak hukum menjadi agen pembangunan sosial yang berkontribusi langsung pada kesejahteraan rakyat. Berikut, inovasi kebijakan. Demonstrasi kemampuan pemerintah untuk berpikir kreatif dalam mengatasi tantangan kompleks dengan memanfaatkan aset kelembagaan yang ada. Lalu yang terakhir, investasi pada gizi dan kesehatan hari ini adalah investasi pada kualitas sumber daya manusia menuju Indonesia Emas tahun 2045.


Keberhasilan program ini akan diukur bukan hanya dari angka distribusi pangan atau penurunan prevalensi malnutrisi, tetapi dari transformasi paradigma tentang bagaimana negara dan masyarakat bekerja sama membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Jalan menuju Indonesia Emas 2045 memerlukan keberanian untuk berinovasi, komitmen untuk berkolaborasi, dan visi untuk melihat melampaui batasan-batasan konvensional. 


Penunjukan SPPG Polri adalah langkah berani dalam perjalanan panjang tersebut—sebuah eksperimen kebijakan yang, jika berhasil, dapat menjadi model bagi transformasi institusional di sektor-sektor lain dan bahkan menginspirasi negara-negara berkembang lainnya dalam mengejar tujuan pembangunan berkelanjutan mereka.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama