Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Serial number, vendor tunggal, dan skema yang membajak APBN
*Negara beli barang, tapi bukan sistem, inilah titik gagalnya*
Pengadaan jutaan unit Chromebook oleh negara mestinya menjadi lompatan digitalisasi pendidikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, yakni negara hanya membeli perangkat fisik, tanpa pernah memiliki sistemnya. Dan di situlah letak skema bisnis yang kini sedang menyeret Kemendikbudristek ke meja penyidikan.
![]() |
Ist |
Perangkat yang dibeli tidak bisa digunakan tanpa aktivasi melalui Chrome Device Management (CDM), yaitu sistem milik Google, tapi hanya bisa diakses dan dioperasikan oleh satu perusahaan di Indonesia, yakni PT D, sebagai satu-satunya mitra resmi Google Education.
*Model bisnis tertutup sebab perangkat terkunci dan anggaran terhisap*
Dalam sistem ini, semua perangkat harus di-enroll menggunakan Serial Number, yang hanya bisa diaktivasi oleh korporasi D tersebut. Tidak ada opsi aktivasi mandiri oleh sekolah, daerah, bahkan kementerian. Apakah metode ini benar atau disengaja sepertinya benar? Bukankah ini untuk menggiring kebijakan negara menjadi menyimpang dari yang seharusnya?
Artinya, negara dipaksa terus bergantung pada satu entitas privat untuk membuka akses atas alat yang sudah dibeli negara.
Biaya aktivasi CDM Rp500.000–600.000 per unit. Jutaan unit dibeli dimana potensi fee tersembunyi mencapai Rp1 triliun lebih.
Dan biaya ini tidak pernah diumumkan resmi, tidak bisa ditandingkan, tidak diaudit, dan langsung dimasukkan dalam satuan harga pengadaan, inilah bentuk sempurna dari desain mark-up terencana. Coba harga satuan itu diurai dengan teliti.
Bukankah mudah bagi penyidik untuk memahaminya? Terlebih para penyedia yakni pemenang tender sudah memberi pengakuan lengkap di dalam BAP. Jadi tidak sulit lagi bagi penyidik Kejagung untuk membulktikannya bukan?
*Skema bisnis yang direkayasa sebelum jabatan resmi*
Sistem CDM tidak berdiri tiba-tiba. Sudah dikondisikan, itu direkayasa! Ini bukan solusi teknis, ini model bisnis. Berdasarkan penelusuran Indonesian Audit Watch:
1. Perangkat dan skema aktivasi sudah dirancang jauh sebelum pengambil keputusan resmi dilantik, yakni Nadiem Makarim. Artinya sudah dengan matang sudah diniatkan oleh para pelaku. Ini bukti paling telak.
2. Spesifikasi pengadaan dikunci hanya untuk perangkat dengan CDM, dan hanya perusahaan D itu saja yang bisa mengktifkan. Terkait hal itu telah rinci dijelaskan oleh pe
Vendor global seperti Acer, Asus, Lenovo tidak bisa distribusi langsung karena harus lewat perusahaan D tersebut. Ini bukan cuma pelanggaran etika, ini rekayasa sistemik. Dan jika benar, maka termasuk dalam cakupan:
1. UU Tipikor di pasal 15 terkait perencanaan korupsi, pasal 13 tentang janji proyek sebelum jabatan
2. UU 5/1999 (Anti Monopoli) pasal 22 karena tender diarahkan ke satu vendor,
3. UU 30/2014 (Administrasi Pemerintahan) di pasal 12 tentang pejabat tidak boleh untungkan koleganya sebelum menjabat,
4. UU Keuangan Negara terkait pemborosan anggaran tanpa dasar efisiensi dan kebermanfaatan publik.
*Pengadaan itu bukan cuma Chromebook, tapi juga sistem yang dikunci satu tangan vendor*
Dalam proyek pengadaan Chromebook oleh negara, publik kerap mengira ini hanya soal “beli laptop untuk sekolah”. Padahal sesungguhnya, negara sedang membeli sebuah sistem digital yang tidak bisa berjalan tanpa aktivasi melalui vendor tunggal.
Mari kita urai alur teknis di balik layar, ini tahap penjelasannya:
1. PO barang vendor pengadaan (pemenang tender DAK) memesan perangkat ke principal (Acer, Asus, dll).
2. Barang tiba lalu principal mengirim barang ke penyedia lokal. Namun perangkat ini masih terkunci.
3. Aktivasi inilah kunci utama. CDM (Chrome Device Management) hanya bisa diaktifkan oleh PT D melalui serial number yang terhubung ke Google Admin Console.
4. Didistribusi, setelah diaktivasi oleh D, baru perangkat di-packing ulang dan dikirim ke sekolah.
Tanpa tahap ke-3 (aktivasi CDM oleh D), maka seluruh proses berhenti. Perangkat tidak bisa dipakai.
*Perusahaan D satu-satunya gerbang sistem*. Di titik ini, peran D bukan sekadar distributor. Mereka menjadi satu-satunya gatekeeper sistem digital pendidikan nasional, karena hanya mereka yang:
1. Memiliki akses resmi ke Google Admin Console,
2. Bisa memproses enrollment perangkat berbasis serial number,
3. Mampu menghubungkan Chromebook ke domain sekolah (belajar.id atau .sch.id),
4. Bisa mengaktifkan lisensi Chrome Education Upgrade (CEU) secara legal di Indonesia.
Artinya, tanpa intervensi atau keberadaan D maka barang senilai triliunan itu tidak bisa menyala di ruang kelas. Lalu, masa D bisa cuci tangan dari kasus tersebut? Tentu tidak! Ini modus kejahatan di beberapa negara.
*Apa artinya bagi negara?*
1. Negara membayar penuh, tetapi tidak punya kendali atas sistem. Ini pengelabuan terhadap negara.
2. Sekolah tidak bisa aktivasi sendiri, meski perangkat sudah di tangan.
3. Semua tergantung pada satu vendor swasta, dari pusat hingga ke daerah.
Ini adalah model vendor-lock-in dalam bentuk paling sempurna dari sistem, lisensi, jaringan, hingga distribusi hanya dikendalikan oleh satu tangan.
*Simpul masalahnya: sistem dibeli tapi tidak dipegang*
Pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek bukan lagi hanya teekait pengadaan barang. Ini adalah pengadaan sistem yang sejak awal dikondisikan untuk dikunci, diatur, dan dimonopoli lewat tahapan teknis yang tampak biasa, namun bagi yang sangat paham maka sesungguhnya ini adalah keculasan yang sangat terstruktur. *Negara yang membeli perangkat, tetapi perusahaan D yang memegang kuncinya*.
Dan ketika sistem ini dirancang sebelum jabatan formal dimulai, lalu dengan struktur spesifikasi yang mengarah hanya pada vendor tertentu, maka model bisnis ini wajib diperiksa dari hulu ke hilir oleh penyidik Kejagung.
Karena apa?
1. Tanpa aktivasi, perangkat Chromebook tidak bisa dipakai.
2. Tanpa internet stabil, CDM tidak jalan.
3. Sekolah di daerah 3T jadi gudang perangkat mati.
Jadi, ini bukan soal teknologi. Ini soal moralitas orang pengendali perusahaan!
*Kunci masalahnya: serial number sebagai “Gerbang Uang”*
Serial Number bukan sekadar nomor perangkat. Dalam sistem CDM, serial number adalah pintu uang. Hanya satu perusahaan yang bisa membukanya, yaitu D. Negara tidak punya lisensi master-nya. Aktivasi dilakukan secara tertutup. Biaya diselipkan sedemikian rupa ke dalam harga per-unit. Halus sekali model menculasi negara, bukan?
Masa itu tidak disentuh penyidik? Justru itu akar masalah kasus Chromebook!! Bukan yang lain.
Inilah kenapa penyidik harus memeriksanya, jangan hanya kontrak fisik, tapi juga logika bisnis di balik proyek tersebut. Ini bukan sekadar pengadaan, ini adalah model bisnis yang membajak kebijakan negara.
*IAW mendesak bongkar modus bisnisnya, bukan hanya pengadaannya*
Indonesian Audit Watch menilai, penanganan hukum tidak boleh hanya menyentuh “belanja Chromebook” karena model bisnis di balik CDM-lah akar masalahnya.
Rekomendasi IAW:
1. Audit total oleh BPK dan BPKP terhadap CDM dan fee aktivasi sejak 2019–2024.
2. KPPU harus telusuri spesifikasi tender yang dikunci untuk vendor tunggal.
3. KPK dan Kejagung harus fokus pada skema bisnis ini, sebagai bentuk shadow procurement.
4. Kominfo dan BSSN harus ambil alih sistem konsol Google Admin Console, demi kedaulatan data pendidikan.
*Jangan biarkan model bisnis tak bermoral jadi preseden*
Ketika satu vendor bisa merancang sistem pengadaan nasional, ketika satu nomor serial bisa membuka atau mengunci jutaan perangkat, ketika negara tidak punya kuasa atas perangkat yang sudah dibelinya, maka inilah bentuk sempurna dari kolusi korporat yang membajak pemerintahan.
*Penyidik jangan hanya cari markup atau selisih harga. Bongkar siapa yang menyusun model ini sejak awal*.
Karena korupsi hari ini, sering kali bukan soal transaksi. Tapi soal perancangan sistem untuk merampok anggaran secara legal.
Kategori : News
Editor. : ARS
Posting Komentar