Studi kasus dari hutan Register 40, Tesso Nilo, hingga Bukit Tigapuluh dengan menilik peran Satgas dalam upaya penegakan tata kelola hutan yang adil.
Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)Ist
*Audit yang mengupas luka lama negeri hutan*
Di negeri yang “kaya hutan”, ironi bersembunyi di balik papan nama besar Taman Nasional, Register Hutan, dan Suaka Margasatwa. Label konservasi justru menjadi saksi bisu permainan tanah yang lebih tua dari republik ini.
IAW tidak berhenti bertanya, apakah kawasan lindung itu benar-benar hendak dilindungi, atau justru dipertahankan demi kepentingan mereka yang pernah berkuasa? *Semoga Presiden Prabowo Subianto sudi membenahi luka lama tersebut*.
Kasus hutan Register 40 di Sumatera Utara, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau, dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Riau–Jambi merepresentasikan wajah konflik antara klaim negara, sejarah masyarakat adat, dan hukum formal. Idealnya, akar persoalan 3 hutan itu bisa dipahami oleh para pembantu Presiden agar lebih membuat lugas seluruh pemikiran dan kebijakan terkait sawit dan turunannya supaya bisa menjadi andalan ekspor terdepan. Jika tidak, maka niat baik Presiden Prabowo terkait mengunggulkan komoditas sawit tidak akan maksimal terwujud.
Mari kita tilik, sejak kapan negara dengan mudah mengklaim tanah yang telah dikelola masyarakat adat selama berabad-abad. Jawabannya, itu terjadi saat status konservasi diumumkan oleh pemerintahan Orde Baru. Paska itu justru semakin cepat sekali sawit dan kayu mulai menggerogoti peta hutan!
Audit tidak boleh berhenti di angka, yakni kerugian negara, deforestasi dan hektaran alih fungsi sebab itu hanyalah gejala. Pemerintah harus menghasilkan solusi terbaik agar prediksi penertiban kisaran 3 juta hektar sawit di atas hutan menjadi mesin penghasil ribuan triliun dari pajak dan PNBP kepada negara. Jangan lagi salah menatakelola hal tersebut.
Akar persoalannya adalah distorsi sejarah dan hukum!
IAW memilih menyajikan catatan ini bukan sekadar laporan teknis, melainkan rekonstruksi historis dan analisis tajam atas legal-formalitas yang membuat hutan kita mudah berpindah tangan secara senyap. Itu seharusnya yang terutama dibenahi, sembari Satgas PKH melakukan penertiban. Jika tidak, Satgas terjebak pada model masa lalu!
*Dasar hukum dari tanah ulayat ke Taman Nasional*
UUPA No. 5/1960 mengakui hak ulayat masyarakat adat, tetapi justru UUPA juga memberi celah besar bagi negara untuk mengambil alihnya atas nama “kepentingan nasional”, itu pintu masuk utama ketidak-adilan.
Tap MPR IX/2001 juga mendorong penyelesaian konflik agraria, namun dalam banyak penetapan kawasan hutan, justru prinsip ini diabaikan pemerintah.
UU No. 5/1990 (pasal 31) mensyaratkan penetapan kawasan konservasi dengan memperhitungkan sosial-budaya lokal, sayangnya, TNBT yang ditetapkan sebagai hutan tahun 1995, malah nyaris tanpa konsultasi dengan masysrakat adat Talang Mamak. TGHK 1982 menetapkan status hutan secara administratif, namun keputusan diambil jauh dari masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Keputusan itu hanya berbasis dari atas meja birokrasi di Jakarta.
Keputusan yang tertunda-era kolonial dan baru era Orde Baru terkait hutan Register 40 dimasukkan ke daftar hutan lindung melalui SK Menhut. Keputusan itu dilakukan tanpa inventarisasi hak adat dan tanpa partisipasi pemilik asli, yakni masyarakat adat.
*Rekonstruksi sejarah tiga kawasan*
1. Hutan Register 40 (Sumut), berangkat dari mulai Gouvernement Besluit Nomor 50 tahun 1924, itu adalah daftar rencana desa-desa yang dipertimbangkan untuk tujuan kehutanan. Kawasan itu sejak awal direncanakan Belanda menjadi wilayah pengelolaan hutan dengan 13 desa adat di Sumatera Timur. Desa-desa itu adalah: Besilam, Sei Bamban, Tanjung Lenggang, Kwala Musam, Tanjung Putus, Bukit Lawang, Sei Serdang, Halaban, Padang Cermin, Perkebunan Tanjung Jati, Batu Jongjong, Pulau Rambung dan Desa Perkebunan Bahorok. Dokumen Gouvernement bukanlah penetapan final kawasan hutan.
Karena ternyata Gouvernement Besluit nomor 50 tidak pernah dimuat ke dalam Staatsblad Hindia Belanda sehingga status hukumnya lemah. Putusan-putusan perdata modern juga ternyata membatalkan penggunaan dokumen itu karena tidak otentik, sebab hanya fotokopi atau terjemahan yang tidak diverifikasi Arsip Nasional atau arsip Belanda. Itu tidak pernah dimuat di Staatsblad, sehingga status hukumnya lemah.
Terlihat pula pasca kemerdekaan yakni era Orde Baru, justru tiba-tiba SK Menhut menetapkannya sebagai hutan negara tanpa hak ulayat. Penetapan itu tdak melibatan publik. Akhirnya tim verifikasi independen kemudian menemukan tumpang-tindih izin HTI pasca-penetapan. Itu seharusnya jadi alarm penataan kembali peta hutan Indonesia. Tapi, itu tidak pernah dilakukan. *Momentum pembenahannya justru ideal dimasa pemerintahan saat ini*.
Mari kita lihat, apakah ada SK penetapan hutan Register 40? Sampai hari ini tidak ada Surat Keputusan (SK) resmi yang menetapkan Hutan Register 40 menjadi kawasan hutan paska SK penunjukan nomor 44/Kehut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005. Karena SK nomor 44 itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Memang kemudian terbit SK Menhut nomor SK.579/Menhut-II/2014 sebagai perubahan penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara, termasuk perubahan pada kawasan yang bersinggungan dengan klaim Register 40. Fakta ini membuktikan ada pengakuan diam-diam bahwa SK yang lama bermasalah.
*Uniknya SK nomor 579 itu juga tidak ada secara khusus menyebut Register 40. Jadi hutan Register 40 itu tidak ada SK-nya*.
2. TNTN (Riau), berdasarkan SK Menhut No. 255/Menhut-II/2004, dimana area awal adalah sekitar 38.576 ha diperluas hingga ±83.068 ha pada 2009. Semudah itu bukan? Tidak perlu ada proses publik!
Praktiknya, sekitar 40.000 ha kawasan malah telah ditanami sawit ilegal . Satgas PKH menindak, dimana hingga Agustus 2025, sekitar 712 ha sudah dikembalikan oleh warga dan akan direstorasi menjadi hutan. Ironinya, dugaan korupsi dan penerbitan sertifikat ilegal turut memperumit penanganannya, dimana hanya sekitar 12.561 ha yang tersisa dari fungsi asli hutan.
3. Hutan TNBT (Riau–Jambi) ditetapkan lewat SK Menhut No. 539/Kpts-II/1995, dengan luasan area ±127.698 ha. Wilayah ini sesungguhnya adalah tanah adat Talang Mamak, yang hidup dengan sistem ladang berpindah dan zona sakral, dimana pengakuan atas hak mereka praktiknya tidak ditemukan dalam proses FPIC. BPK pada 2019 melaporkan 14.500 ha sudah digunakan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/kayu yang berizin lemah; patroli juga hanya 3–4 kali dilakukan per tahun. Itu mencerminkan lemahnya pengawasan.
*Rangkuman temuan IAW berdasarkan LHP BPK di tiga kawasan hutan kritis*
Indonesian Audit Watch melakukan analisis silang terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tiga kawasan hutan strategis yaitu Register 40; Taman Nasional Tesso Nilo; Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Hasilnya mengungkap pola kerusakan dan degradasi hutan yang sistematis, melibatkan aktor berbeda, namun selalu berujung pada kerugian besar bagi negara. Ini sajiannya:
1. Register 40, adalah kawasan yang sejak masa kolonial Belanda dirancang sebagai hutan kelola dengan 13 desa adat ini mengalami degradasi sekitar ±12.000 hektare. Temuan BPK menunjukkan aktor dominan berupa petani kecil dan spekulan lokal. Potensi kerugian negara yang dihitung dari hilangnya Penerimaan Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) mencapai ±Rp 432 miliar. Ironisnya, penegakan hukum cenderung mengarah pada kriminalisasi penggarap kecil, sementara tata batas dan hak ulayat belum pernah benar-benar diselesaikan.
2. TNTN, dengan degradasi mencapai ±31.000 hektare menjadi simbol pembiaran konversi hutan menjadi kebun sawit. Aktor dominan adalah korporasi sawit besar. Potensi kerugian negara mencapai ±Rp 545 miliar. Penegakan hukum lebih sering bersikap permisif terhadap korporasi, sementara warga lokal yang mencoba bertahan justru menghadapi represi aparat.
3. TNBT, terdegradasi seluas ±14.500 hektare banyak dipicu oleh operasi perusahaan kayu dan HTI. BPK menghitung potensi kerugian negara sebesar ±Rp 215 miliar. Namun, penegakan hukum di kawasan ini terkenal lemah, terutama terhadap pelaku korporasi besar, sehingga pola kerusakan berulang dari tahun ke tahun.
Pola ini bukan sekadar masalah “sawit di kawasan hutan”, tetapi krisis tata kelola yang berulang, yakni pengabaian hak-hak masyarakat, pembiaran pelanggaran korporasi, dan penegakan hukum yang timpang. Sebaiknya, pemerintah menyikapi dengan bijaksana *meredefenisi hutan* agar mendistrorsi kompleksitas persoalan saat ini.
Tanpa redefenisi dan penegakan prinsip pengelolaan hutan yang konsisten, Satgas PKH berisiko hanya memadamkan api di permukaan, sementara bara masalah struktural tetap membakar di bawahnya. Ini tentu patut dihindarkan oleh para pembantu Presiden. Tetapi, mengapa mereka tidak melakukannya? Tentu ada sesuatu hal yang belum mereka pahami!
Fatamorgana hukum terlihat jelas, dimana rakyat kecil dijerat, sementara korporasi besar lolos, itulah realitas garang dan ini sudah disadari BPK.
*Modus operandi yang menggerogoti*
Sembari melakukan penertiban, seharusnya Satgas PKH bisa menelisik hal ini:
1. Tindakan manipulasi status dan batas akibat perbedaan antara peta rezim hutan, konservasi, dan izin usaha menciptakan “zona abu-abu” eksploitasi.
2. Kolusi terselubung, menggunakan skema “kemitraan” dengan warga lokal menutup celah audit, sementara izin dikeluarkan sebelum wilayah ditetapkan resmi.
3. Kriminalisasi satu pihak, sementara ada pelindungan terhadap yang lain. Warga adat disasar hukum, korporasi malah diamanahi.
4. Birokrasi terbelah dan manipulatif, karena aparat sebagian terlibat praktik mark-up, dokumentasi palsu, dan ketidakpedulian terhadap temuan BPK.
Tentunya, jika Satgas mumpuni memahami hal yang terlanjur salah seperti temuan BPK itu, maka kejahatan terkait hutan di Indonesia sedikit demi sedikit akan bisa terbenahi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Itu harapan masyarakat.
*Dampak nyata*
Sampai dengan saat ini:
1. Defenisi hutan kita masih teramat dangkal, rancu dan tidak berkeadilan. Sumber data penetapan sesuatu kawasan hutan masih rentan untuk dipermasalahkan, terbukti dari putusan MA tersebut.
2. Masyarakat adat Talang Mamak kehilangan akses dan sumber hidup.
3. Degradasi ekologis mengancam keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis nasional.
4. Konflik sosial dan ekologi makin tajam, dimana manusia-satwa piaraan sama-sama kehilangan ruang hidup.
Semua itu idealnya menjadi perhatian Satgas PKH. Jika Satgas tidak menghasilkan dampak sejuk yang seharusnya dirasa oleh masyarakat adat dan publik, maka kinerjanya justru semakin menjauhkan panggang dari api!
Satgas harus melakukan yang esensif supaya masyarakat merasa bahwa peraturan Presiden Prabowo yang melahirkan Satgas PKH itu membumi, bukan malah seperti sekarang, yakni sudah mulai digugat oleh masyarakat di kabupaten Padanglawas Utara (Paluta) Sumatera Utara.
*Rekomendasi IAW*
1. Audit forensik segera kawasan “abu-abu” dan izin alih fungsi ilegal.
2. Redefinisi hutan dan peran Satgas PKH sebagai fasilitator co-management, bukan alat represif.
3. Transparansi penuh data izin dan hasil audit sehingga masyarakat sipil dan media harus diajak mengawasi.
4. Pengakuan dan pemulihan hak masyarakat adat melalui RUU Masyarakat Adat dan revisi UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya KSDAE.
5. Pendekatan manajemen bersama di Register 40, TNBT dan TNTN: integrasikan konservasi dan kearifan lokal.
6. Teknologi pengawasan inklusif (satelit & partisipatif) untuk mendukung audit dan pelacakan.
Penutup
Hutan Register 40, TNTN, dan TNBT lebih dari sekadar lempengan hijau, karena mereka adalah warisan budaya, ekonomi, ekologi, dan konflik yang belum selesai.
Pengakuan hak adat, penegakan hukum yang adil, dan pengelolaan inklusif adalah kunci agar Satgas PKH tidak cuma menjadi penghapus jejak, tetapi arsitek perbaikan sistemik dalam tata kelola hutan berkeadilan.
*Presiden Prabowo Subianto diyakini punya peluang historis untuk mereset sejarah guna memulihkan hak rakyat, menjaga ekologi, dan mengakhiri warisan administrative violence terhadap kawasan hutan kita*.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar