Oleh : Manuntun Parulian Hutagaol; Gurubesar pada IPB University
Sejak pemerintah menetapkan Danau Toba (DT) sebagai destinasi wisata internasional super - prioritas hampir satu dekade lalu, kualitas lingkungan hidup di Kawasan Danau Toba (KDT) yang meliputi tujuh kabupaten mendapat perhatian luas. Salah satu lembaga internasional yang memberi perhatian serius adalah Bank Dunia.
![]() |
Manuntun Parulian Hutagaol, Guru Besar IPB University. |
Dalam salah satu publikasinya yang diterbitkan pada tahun 2018 lalu, lembaga internasional tersebut menyatakan bahwa kualitas air DT sangat buruk sehingga tidak layak dijadikan destinasi wisata internasional. Meskipun kesimpulan tersebut bukanlah hasil dari meneliti sendiri kualitas air DT melainkan dari hasil suatu studi pustaka berbagai pihak mendukungnya.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah faktor penyebab kerusakan lingkungan tersebut. Tanah longsor dan banjir akhir-akhir ini sering terjadi di KDT. Berbagai pihak mengklaim kejadian ini akibat operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengembangkan hutan tanaman industri (HTI) di atas tanah konsesi untuk bahan baku pabrik pulp-nya.
Akhir-akhir ini ada himbauan dari seorang tokoh agama agar pemerintah segera menutup TPL serta membagi-bagikan tanah konsesinya pada masyarakat.
Tulisan singkat ini membahas usulan tersebut dan mengklaim bahwa penutupan TPL justru akan memperburuk kualitas lingkungan hidup di KDT.
Lingkungan Hidup Sebagai Barang Publik
Kelestarian lingkungan hidup merupakan hal yang sangat penting sebab akan menentukan keberlanjutan kehidupan manusia dan mahluk lain yang ditopang oleh lingkungan hidup itu sendiri. Hal inilah yang membuat masyarakat terusik bila lingkungan hidup terganggu sehingga tidak dapat berfungsi secara maksimal. Meskipun manusia menyadari pentingnya menjaga kelestariannya, anehnya sangat jarang manusia secara sukarela dan mandiri melakukan perbuatan nyata dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Fakta ini dapat diamati dalam hal perlakukan manusia terhadap sampah. Semua orang tahu bahwa buang sampah sembarangan akan merusak lingkungan hidup. Namun, perbuatan buang sampah sembarangan bukanlah hal yang langka terjadi.
Mengapa perilaku yang antagonis seperti itu terjadi? Menurut Ronald Coase penyebabnya karena lingkungan hidup bukan barang milik pribadi (private goods) melainkan barang publik (public goods). Barang publik adalah barang milik siapa saja. Orang dapat menggunakannya untuk hal yang baik maupun yang buruk sesuai kepentingannya. Seseorang tidak dapat menghalangi orang lainnya dalam memanfaatkannya sebab orang tersebut mempunyai hak yang sama dalam pemanfaatannya.
Sadar akan dampak negatif dari kebebasan dalam memanfaatkan oleh siapa saja, Ronald Coase mengatakan bahwa hak pemilikan publik terhadap lingkungan harus dibatasi. Tidak masalah apakah hak pemilikan lingkungan hidup pada pihak pencemar atau pihak korbannya, pemberian hak tersebut akan berdampak pada terkendalinya (minimalisasi) kerusakan lingkungan. Sesungguhnya, pendapat Coase yang populer sebagai Theorema Coase tersebut adalah menyangkut strategi internalisasi dampak lingkungan.
Kasus ilustratif berikut dapat membantu memahami Theorema Coasa tersebut di atas. Misalkan suatu sungai digunakan secara bersama oleh pabrik bahan kimia (pabrik) untuk membuang limbahnya dan oleh klub pemancing ikan (klub). Bila sungai tersebut dibiarkan sebagai barang publik, maka pabrik akan membuang limbah sesukanya. Sementara, semakin banyak limbah dibuang oleh pabrik maka akan semakin sedikit ikan yang dapat dipancing oleh klub.
Misalkan, pabrik diberikan hak pemilikan akan sungai tersebut dan klub harus membayar (beribe) untuk pemanfaatan sungai tersebut. Apakah dengan hak pemilikan tersebut pabrik akan tetap seenaknya buang limbah ke dalam sungai? Pabrik akan berubah sikap soal pembuangan limbahnya. Soalnya semakin kotor sungai karena limbah pabrik, semakin sedikit bayaran yang klub mau berikan pada pabrik sebab ikan di sungai semakin sedikit. Artinya, pemberian hak pemilikan sungai pada pabrik (pencemar) justru akan membuatnya mengurangi pembuangan limbah ke sungai tersebut.
Bagaimana bila hak pemilikan sungai diberikan pada klub? Pabrik harus membayar bila buang limbah ke sungai. Semakin banyak limbah yang mau dibuang ke sungai, semakin mahal pembayaran yang pabrik harus berikan ke klub. Jadi, singkatnya, mengubah status pemilikan sungai dari barang publik menjadi barang privat akan berdampak positif pada kelestarian sungai tersebut, tidak masalah apakah pemilikan sungai diberikan pada pabrik (pencemar) atau klub (korban).
Beragam Kontributor Pada Kerusakan Lingkungan Hidup
Kalau seandainya seperti yang dituduh hanya TPL yang merusak lingkungan di KDT, pendapat Coase tersebut di atas dapat digunakan sebagai dasar merumuskan kebijakan mengendalikan kerusakan lingkungan. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan pada bagian di bawah ini, perusaknya sangat banyak dan beragam sehingga tidak bisa menggunakan Theorema Coase sebagai dasar kebijakan pengendaliannya.
Banyaknya perusak tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan hidup di KDT (termasuk DT sendiri) diperlakukan masyarakat sebagai barang publik. Bila lingkungan hidup adalah barang publik, maka tuduhan hanya TPL yang merusak lingkungan KDT tidak logis. Lebih aneh lagi, tidak ada penjelasan mengapa hanya TPL yang melakukan pengrusakan lingkungan.
Menurut Simon Kuznets kemiskinan adalah musuh lingkungan hidup. Pertanyaannya yang relevan adalah apakah kemiskinan merupakan masalah serius di KDT? Sudah sejak lama KDT didera oleh kemiskinan. Bahkan pada era pemerintahan Suharto KDT pernah masuk dalam peta kemiskinan yang mana masyarakatnya menjadi target untuk pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, masalah kemiskinan masih tetap mendera kebanyakan masyarakat KDT.
Dengan mengacu pada pendapat Kuznets tersebut tidak mungkinlah masyarakat miskin lokal tidak berkontribusi pada kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di KDT. Namun, tidaklah pantas menimpakan kerusakan lingkungan hidup tersebut hanya pada TPL dan masyarakat miskin. Dalam kaitannya dengan kualitas air DT, penelitian CARE IPB University (2022) DT menyimpulkan bahwa semua objek studinya adalah pencemar berat air DT dan KJA bukanlah pencemar terburuk. Juga ditemukan industri pariwisata dan industri transportasi yang mendukungnya merupakan penyumbang cemaran air yang sangat besar. Bahkan sumbangan cemarannya lebih besar dari budidaya ikan dalam keramba (KJA).
Temuan ini bukanlah suatu hal yang mengagetkan (surprising) sebab DT adalah danau yang sangat luas (sekitar 125 ribu hektar). Danau Toba adalah perairan multi-fungsi yang digunakan beragam kalangan untuk kepentingannya. Juga perlu diperhatikan bahwa DT tidak mempunyai sumber air alamiah. Air DT disumbang oleh sekitar 120 sungai kecil yang mengalirkan air dari pegunungan Bukit Barisan dan sekitarnya. Sungai-sungai tersebut mengalir melalui kawasan pertanian yang menggunakan pupuk pabrik dan juga kawasan pemukiman (parhutaan) di mana rumah-rumah pada umumnya tidak mempunyai toilet dan sistem sanitari lingkungan.
Menutup TPL justru akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dari sudut pandang Kuznets tersebut di atas, mengatasi masalah kemiskinan merupakan tindakan yang urgen dalam memperbaiki kualitas lingkungan hidup di KDT.
Pertanyaannya adalah mengapa kemiskinan masih terus bercokol di KDT?
Migrasi anak-anak muda ke luar KDT bukanlah suatu fenomena baru. Bahkan sebelum kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda fenomena seperti itu sudah terjadi. Pada awalnya, anak-anak muda keluar untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (PT). Sejak dua dekade lalu migrasi keluar dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mau sekolah lanjutan, tetapi juga oleh banyak generasi muda yang mau cari kerja. Semakin hari migrasi tipe kedua ini semakin penting.
Apa dampak migrasi keluar tersebut pada perekonomian dan lingkungan hidup di KDT? Salah satu karakter dari migrasi keluar tersebut di atas adalah bahwa hampir tidak ada dari para perantau tersebut kembali ke kampung halamannya. Sebagai konsekuensinya, struktur kependudukan di kawasan ini semakin didominasi oleh orang tua dan anak-anak. Hal ini tidak sehat bagi perekonomian lokal sebab penduduk usia produktif relatif sedikit dan semakin berkurang. Masalahnya semakin buruk sebab migrasi tersebut juga menyedot sumberdaya finansial masyarakat. Orang tua harus mengirimkan sebagian dari penghasilannya untuk biaya sekolah anak-anaknya di luar KDT.
Singkatnya, secara umun dapat dikatakan masyarakat KDT mengalami persoalan ketersediaan tenaga kerja dan modal finansial untuk menggerakkan perekonomian keluarga yang umumnya pertanian tanaman. Banyak dari mereka terpaksa membiarkan sebagian dari tanahnya tidak digarap karena kekurangan tenaga kerja dan modal finansial. Hal inilah yang membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan dan banyak tanah terlantar karena masyarakat tidak mampu menggarapnya. Perlu disadari tanah telantar merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan.
Bila TPL ditutup, siapa yang mengelola tanah yang tadinya dikelola perusahaan ini? Apakah membagikannya ke masyarakat akan jadi solusi? Mungkin masyarakat mau menerimanya, tetapi mereka tidak akan mampu membuatnya produktif sebab tidak punya tenaga kerja dan modal finansial sehingga akan makin luas tanah terlantar di KDT. Artinya, penutupan TPL justru akan memperburuk masalah lingkungan di KDT. Lagi pula, menutup TPL tidak akan menyelesaikan masalah lingkungan. Soalnya masih banyak perusak lingkungan lainnya di KDT.
Kategori : Opini
Editor : AHS
Kelak bekas.konsesi jangan asal bagi² ke masyarakat. Kembalikan habitat bekas lahan jadi hutan lindung.
BalasHapusSembari membahas isu TPL sebaiknya segera bahas langkah pembersihan keramba² yg telah merusak dan mencemari danau toba
BalasHapusPosting Komentar