Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
*Potret buruk tata kelola*
Hari ini publik dihadapkan pada kenyataan pahit, bahwa perputaran uang perjudian daring menggunakan jutaan nomor rekening perbankan dan lembaga keuangan non-bank masih berlangsung tanpa henti.
![]() |
Ilustrasi |
Fakta ini adalah bukti telanjang bahwa seluruh otoritas penata kelola keuangan di Indonesia dimulai dari bank, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terlihat gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Padahal, mandat hukum mereka tidak main-main. Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Bank Indonesia, serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah jelas-jelas mewajibkan setiap lembaga untuk menutup rapat pintu bagi aliran uang gelap.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kebalikannya, justru pintu itu dibiarkan terbuka, bahkan menjadi jalan tol yang nyaman bagi bandar judi.
*Bank berpagar penuh celah*
Bank seharusnya menjadi pagar pertama. Tugasnya adalah mengenali nasabah, mengawasi transaksi, dan menolak segala bentuk aktivitas mencurigakan. Tetapi, justru bank-bank besar yang menjadi jalan favorit bagi para bandar judi untuk membuka rekening.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) *dari tahun ke tahun sudah menegur lemahnya pengendalian internal perbankan*. Ribuan rekening dormant yang tidak diaudit, serta celah verifikasi digital yang longgar, menjadi bukti bahwa bank lebih sibuk mengejar target bisnis ketimbang menjaga integritas sistem keuangan.
Mari cermati:
1. Tahun 2015–2017 adalah awal lonjakan rekening tidak aktif. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) periode 2015–2016 mencatat ribuan rekening pemerintah daerah di bank umum berstatus tidak aktif (dormant) dengan saldo miliaran rupiah yang tidak terpantau penggunaannya. Catatan BPK lemahnya rekonsiliasi antara pemerintah daerah dan bank membuka peluang penyalahgunaan dana publik, termasuk pemanfaatan rekening dormant untuk transaksi di luar tujuan resmi.
Relevansi dengan judi online bahwa rekening dormant seperti ini rawan dipakai kembali (activated account) untuk menampung dana ilegal.
2. Tahun 2018–2020 pengawasan KYC lemah. LHP BPK 2018 menemukan ketidakpatuhan bank terhadap prinsip Know Your Customer (KYC). Banyak bank hanya mengandalkan fotokopi identitas tanpa verifikasi silang ke Dukcapil.
LHP BPK 2019 menegur adanya rekening dengan dokumen identitas ganda dan tidak sah, namun tetap diloloskan sistem bank.
LHP BPK 2020 menunjukkan kasus transaksi mencurigakan yang seharusnya dilaporkan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) ke PPATK, tetapi tidak dilakukan tepat waktu.
Catatan BPK kelemahan ini memberi ruang bagi mafia judi online membuka rekening dengan identitas palsu atau pinjaman identitas (borrowed identity).
3. Tahun 2021–2022 digitalisasi banki tidak diawasi ketat. LHP BPK 2021 mencatat ledakan pembukaan rekening digital melalui aplikasi bank, tetapi pengendalian internal sangat lemah. Tidak semua bank menerapkan verifikasi biometrik. Ada kasus akun digital dibuka hanya dengan unggah foto KTP dan swafoto, tanpa validasi kehadiran fisik.
LHP BPK 2022 menyoroti lemahnya monitoring transaksi BI-FAST dan QRIS. Sistem memang real-time, tapi tidak ada parameter dan threshold (ambang batas) anomali yang dipakai secara seragam di semua bank.
Banyak bank tidak melakukan pembekuan otomatis meskipun pola transaksi mencurigakan jelas terlihat (misalnya setoran kecil berulang ke satu rekening).
4. Tahun 2023–2024 terdeteksi rekening pemerintah dan fraud by omission. LHP BPK atas LKPP 2023 menemukan 2.115 rekening milik instansi pemerintah di bank umum berstatus dormant lebih dari tiga tahun, dengan saldo lebih dari Rp 500 miliar.
LHP BPK 2024 menyoroti praktik fraud by omission, ada 15 kasus di mana oknum bank secara sengaja meloloskan rekening ilegal atau menutup mata terhadap transaksi yang seharusnya ditolak.
Catatan BPK: bank gagal menjalankan pengendalian internal, padahal OJK sudah mewajibkan penerapan enhanced due diligence.
Dari 2015 hingga 2024, pola temuan BPK konsisten menyoroti kelemahan yang berulang:
1. Rekening dormant pemerintah tidak diaudit, sehingga rawan disalahgunakan.
2. KYC lemah sebab identitas palsu atau pinjaman identitas lolos.
3. Digital banking longgar potensi besar pembukaan rekening masif tanpa pengendalian ketat.
4. Fraud by omission sebab oknum bank sengaja membiarkan rekening ilegal hidup.
Pesan kunci: *BPK sudah berkali-kali menegur, tetapi industri perbankan tidak kunjung berbenah*. Wajar jika hari ini jutaan rekening dipakai bandar judi online, karena pagar utama sistem keuangan Indonesia memang bolong dari dalam. Dan laporan BPK dari tahun ke tahun adalah bukti audit yang tidak terbantahkan!
*Otoritas Jasa Keuangan regulator yang tak bertaring*
OJK memegang peran pengawas, pengatur, dan pemberi izin lembaga jasa keuangan. Dengan Peraturan OJK terbaru tentang anti pencucian uang, seharusnya semua celah bisa ditutup. Nyatanya, jutaan rekening judi tetap lahir setiap tahun.
Mengapa? Karena pengawasan OJK berhenti pada dokumen dan laporan formalitas. Ketika fakta di lapangan menunjukkan kegagalan bank menahan aliran dana judi, OJK tidak hadir sebagai pengendali yang keras, melainkan hanya sebagai pencatat administrasi.
*Bank Indonesia penjaga sistem pembayaran yang lalai*
BI adalah pengendali utama sistem pembayaran nasional. Semua transaksi melalui QRIS, BI-FAST, dompet digital, dan virtual account berada dalam genggamannya. Namun, bandar judi tetap leluasa memanfaatkan kanal-kanal ini untuk menyalurkan dana taruhan.
Audit BPK 2022 menyoroti lemahnya integrasi pengawasan BI dengan PPATK dan otoritas lain. Padahal, sistem teknologi pembayaran nasional sudah memungkinkan pemblokiran real-time. Fakta bahwa transaksi judi tetap lancar adalah bentuk nyata kelalaian.
*PPATK intelijen yang hanya jadi arsip*
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan seharusnya menjadi intelijen keuangan negara. Laporan transaksi mencurigakan dari bank, fintech, dan lembaga keuangan non-bank sudah masuk ke meja PPATK.
Namun, alih-alih menjadi mesin komando yang mampu membekukan jaringan rekening dalam hitungan jam, PPATK lebih sering berperan sebagai gudang arsip laporan.
Laporan BPK tahun 2020–2023 menunjukkan rendahnya tindak lanjut terhadap rekomendasi PPATK. Inilah sebabnya bandar judi lebih cepat membuka rekening baru daripada negara menutup rekening lama.
*Kesimpulan*
Ketika bank gagal, Otoritas Jasa Keuangan lemah, Bank Indonesia lalai, dan PPATK hanya mencatat, maka publik dihadapkan pada kebangkrutan integritas sistem keuangan. Hasilnya adalah:
1. Kapitalisme hitam bandar judi yang modalnya kecil tetapi justru bisa mempermalukan kapitalisme besar perbankan nasional.
2. Mandat hukum yang tegas tidak mampu diwujudkan menjadi tindakan nyata.
3. Reputasi negara sebagai pengelola sistem keuangan runtuh di mata publik, karena uang kotor lebih cepat berputar daripada uang bersih.
*Pesan penutup*
Jutaan rekening judi online adalah bukti bahwa negara tidak kalah dalam undang-undang, tetapi kalah dalam implementasi. Semua otoritas penata kelola keuangan telah gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Jika kondisi ini dibiarkan maka yang sedang kita saksikan bukan sekadar lemahnya pengawasan, tetapi runtuhnya kedaulatan negara atas sistem keuangannya sendiri.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar