JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pengacara kondang Natalia Rusli akhirnya turun gunung membantu nenek 94 tahun bernama Kartini yang harus rela hidup di gubuk reyot setelah tanah peninggalan alm suaminya Mahmud dirampas oleh oknum mafia tanah yang disebut bernama Arbain.
Perjuangan Kartini mempertahankan haknya bukan perkara baru. Selama dua dekade ia berjuang di meja hijau melawan praktik mafia tanah yang diduga mendapat perlindungan dari oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pekanbaru dan hakim Pengadilan.
Menurut informasi, Arbain merupakan warga Jakarta Utara yang tinggal di Jalan Danau Agung 14/30, RT 07/RW 16, Sunter Agung, Jakarta Utara.
Akan tetapi nama Arbain selalu santer dalam pemberitaan kasus mafia tanah, dimana ia selalu terlibat dalam kasus-kasus tanah yang membuat banyak orang di wilayah Pekanbaru Riau menjadi susah.
*Sertifikat 525 dan Dugaan Rekayasa*
Arbain disebut mengklaim tanah sengketa dengan menggunakan sertifikat 525 yang diduga diterbitkan BPN Pekanbaru. Sertifikat itu kemudian dijadikan alat oleh hakim PN Pekanbaru untuk memenangkan Arbain dalam perkara tanah tersebut. Ironisnya, hingga kini Arbain tidak pernah bisa menunjukkan sertifikat asli yang ia klaim sah dengan nomor 525 tahun 2004.
Melihat hal tersebut, Natalia Rusli menegaskan bahwa dirinya siap membela nenek Kartini yang saat ini berusia 94 tahun, korban dari oknum mafia tanah.
"Saya siap perang membela nenek 94 tahun ini, saya merasa tertantang jika lawan yang saya hadapi semakin kuat apalagi kebal hukum. Kita akan gandeng KY, Bawas dan kita akan bongkar kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan dengan fakta-fakta yang ada, karena ini seorang nenek 94 tahun yang harus tinggal di gubuk karena dizolimi oleh oknum-oknum mafia tanah," tegas Natalia Rusli.
*Dalam dokumen sengketa terungkap sejumlah kejanggalan mencolok:*
Objek sengketa berada di Jl. Jenderal Sudirman, namun tanah yang katanya milik Arbain justru tercatat di Jl. Jenderal A. Yani.
Luas tanah bersengketa mencapai 27.836 m², sementara tanah ahli waris Kartini hanya 16.000 m².
Nilai jual beli tanah tercatat hanya Rp6 juta untuk lahan seluas hampir 3 hektare.
Tanda tangan akta jual beli dinilai tidak jelas, bahkan tanda tangan Arbain berbeda dengan dokumen pembeli.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama ini dibayar penuh oleh pihak ahli waris, sedangkan Arbain maupun pihaknya tidak pernah bisa menunjukkan bukti pembayaran.
Sebelumnya, kasus ini sempat dibawa ke PN Jakarta Utara dengan nomor perkara 386/Pdt.G/2017/PN.Utr. Dalam persidangan tersebut, kuasa hukum Kartini, Sam Yhon dari Law Firm Alfies Sihombing & Partners, berhasil membuktikan bahwa Arbain tidak mampu menunjukkan sertifikat asli SHM No. 525/2004.
Hasilnya, Kartini menang telak di PN Jakarta Utara, putusan itu bahkan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK). Namun, ketika perkara kembali digulirkan dalam PK 2, hasilnya berbalik. Arbain kembali dimenangkan dengan proses yang disebut-sebut berjalan “secepat kereta Shinkansen”, tanpa mempertimbangkan bukti putusan PN Jakarta Utara, PT Jakarta dan PK MA yang menyatakan Arbain tidak memiliki sertifikat asli 525.
"Untuk Arbain saya tantang anda untuk menunjukan sertifikat tanah di km 6 jalan Jenderal Sudirman dengan nomor 525 jika memang benar tanah tersebut milik anda, saya tantang anda. Dan saya tegaskan saya juga akan ke BPN Pekanbaru, dan saya tidak takut siapa orang dibelakang Arbain," kata Natali.
*Cermin Buram Hukum Agraria*
Kasus Kartini menggambarkan betapa rakyat kecil sering jadi korban permainan mafia tanah yang diduga melibatkan oknum pejabat negara. Dalam usia hampir seabad, Kartini kini hanya bisa bertahan hidup di sebuah gubuk reyot, meski tanahnya yang sah secara waris telah dilahap mafia.
Ini jelas praktik mafia tanah yang dilindungi oknum. Sertifikat 525 milik Arbain tidak pernah muncul, tapi anehnya hakim justru memenangkan orang yang salah. Dimana letak keadilan
"Pesan saya mengingat usia pak Arbain sudah tua lebih baik pak Arbain banyak bersedekah buat bekal di surga. Saya akan bongkar praktik mafia tanah di Pekanbaru, karena yang saya bela adalah orang miskin di Pekanbaru, ingat pak kita semua akan kembali ke tanah," ujarnya.
"Dan gak usah gandeng orang-orang yang punya pengaruh di Pekanbaru. Apalagi dengan lancang seenaknya mengukur tanah ahli waris tanpa menunjukkan sertifikat asli tanah tersebut," tegas Natalia Rusli.
Untuk diketahui, kasus ini menambah daftar panjang bagaimana mafia tanah bekerja, seperti yang dilakukan Arbain dengan mengaku memiliki sertifikat 525 yang hingga saat ini belum pernah terlihat wujud aslinya.
Selian itu, dengan adanya dukungan oknum aparat, dan manipulasi putusan hukum. Sementara itu, rakyat kecil seperti Kartini hanya bisa pasrah menanggung derita karena putusan yang diberikan oleh Hakim Ketua I Gusti Agung Sumanatha berserta anggota yang diantaranya H. Hamdi dan Ibrahim dinilai tidak menghargai putusan sesama penegak hukum seperti putusan PN, PT dan PK pada putusan PK 2.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar