CHEONGJU, Korea Selatan, suarapembaharuan.com - Lebih dari 800 peserta dari dalam dan luar negeri hadir, termasuk pejabat pemerintah, menteri, hingga aktivis akar rumput hadir pada konferensi perdamaian perempuan terbesar di dunia, yang digelar oleh International Women’s Peace Group (IWPG) dengan tema “Melampaui Konflik: Kepemimpinan Perdamaian Perempuan Menuju Harapan dan Pemulihan,” di Cheongju, Korea Selatan, Jumat (19/9), (sekitar 130 km dari Seoul, Ibukota Korea Selatan).
![]() |
Ketua IWPG Na Yeong Jeon memberikan pidato pembukaan pada International Women’s Peace Conference 2025 yang diselenggarakan di Hotel Enford di Cheongju, Korea, pada tanggal 19 September. |
Para peserta berasal dari Libya hingga Yaman, dari Mali hingga Filipina, mereka datang dengan membawa cerita-cerita tentang luka perang, sekaligus tekad membangun masa depan yang lebih damai.
“Perempuan tidak hanya bertahan di tengah perang. Mereka juga adalah pencipta harapan dan kekuatan,” kata Menteri Urusan Perempuan Libya, HE Horia Khalifa Miloud Al-Tarmal, berdiri di podium, ruang konferensi hening seketika. Ia berbicara tentang “makna perdamaian di era perang”—sebuah refleksi pribadi dari negara yang lama dirundung konflik.
Dari Mali, Bouaré Bintou Founé Samaké menambahkan perspektifnya. Sebagai mantan Menteri Promosi Perempuan, Anak, dan Keluarga, ia tahu persis betapa rapuhnya masyarakat pasca-konflik. Baginya, perempuan bukan sekadar korban. “Mereka adalah pemimpin, motor transisi, bahkan fondasi rekonsiliasi,” ujarnya.
Cerita serupa datang dari Yaman melalui Dr Faiza Abdulraqeb Sallam, Wakil Menteri Kebudayaan. Ia menekankan bahwa perdamaian bukan sekadar kata, melainkan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Ketika peluru berhenti, justru perempuan yang pertama kali membangun kembali ruang-ruang kehidupan,” ujarnya.
Konferensi yang digelar di Hotel Enford, Cheongju, tersebut, dihadiri ratusan perempuan dari 44 negara. Sebagian mengenakan pakaian tradisional mereka, sebagian lain dengan busana modern. Mereka memiliki semangat yang sama, yakni semangat perdamaian.
Dari Teori ke Aksi
Konferensi ini tidak hanya dipenuhi pidato, melainkan juga kisah nyata. Dari Filipina, Hon Maria Theresa Timbol membagikan pengalaman bagaimana Mindanao, yang dulu dikenal sebagai tanah konflik, berubah menjadi lahan subur bagi perdamaian berkat peran komunitas perempuan.
Dari Mongolia, Ny Boojoo Lakshm menyoroti diplomasi feminis yang menjadikan kesetaraan gender bagian dari kebijakan luar negeri. Dan Ruth A Richardson dari International Network of Liberal Women mengingatkan bahwa krisis global, seperti perubahan iklim dan keamanan air hanya bisa diatasi jika perempuan duduk di kursi pengambilan keputusan.
Ketua IWPG, Na Yeong Jeon, menutup konferensi dengan kata-kata yang tegas namun penuh harapan. “Perempuan di seluruh dunia tidak berhenti bekerja untuk perdamaian meskipun perang masih berkecamuk. Pertemuan ini bukan akhir, melainkan langkah nyata menuju dunia yang lebih damai.”
Menurut Jeon, IWPG menyelenggarakan Konferensi Perdamaian Pemimpin Perempuan Internasional, yang mempertemukan lebih dari 300 pemimpin perempuan dari 15 negara, termasuk Irak, Lebanon, Libya, Yaman, Israel, dan Palestina, untuk mendiskusikan peran pemimpin perempuan dalam mengakhiri perang.
Dalam konteks perang di Ukraina, organisasi ini memberikan kursus pendidikan perdamaian berbahasa Ceko kepada para perempuan Ukraina yang mengungsi dari perang, dan menyelenggarakan pameran gambar 'burung perdamaian' karya anak-anak Ukraina untuk meningkatkan kesadaran akan kengerian perang dan menyebarkan pesan perdamaian ke seluruh dunia.
Dikatakan, suara perempuan dari seluruh dunia menggema dalam konferensi ini. Mereka datang dengan luka, dengan pengalaman, dengan harapan. Dan mereka pulang dengan tekad: bahwa perdamaian tidak bisa menunggu, dan bahwa perdamaian dunia bisa dimulai dari kepemimpinan perempuan. [nr]
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar