Perwira tinggi Polri yang juga profesor adalah fenomena langka. Komjen Rudy Heriyanto masuk dalam kategori ini. Dan yang menarik, dua identitas ini tidak dia pisahkan—justru dia integrasikan dalam cara kerjanya.
![]() |
Februari 2022 menjadi momen penting ketika dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Mediasi Kepolisian di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Orasi ilmiahnya berjudul panjang: Mediasi Kepolisian dalam Rangka Mencapai Restorative Justice. Tapi intinya sederhana—sistem peradilan pidana kita terlalu fokus pada pembalasan dan tidak cukup mempertimbangkan pemulihan.
Konsep restorative justice yang dia usung memang kontroversial. Bagaimana bisa pelaku kejahatan tidak masuk penjara? Bukankah itu melunakkan hukum? Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan sering dilontarkan oleh mereka yang skeptis.
Rudy punya argumen baliknya. Sistem peradilan kita overload. Penjara penuh sesak dengan narapidana kasus ringan yang sebenarnya tidak perlu dipenjara. Biayanya besar, hasilnya tidak efektif—banyak yang keluar penjara malah jadi residivis. Untuk kasus-kasus tertentu, mediasi antara pelaku dan korban dengan solusi yang disepakati bersama bisa lebih adil dan lebih efisien.
Tentu ada syaratnya. Tidak semua kasus bisa dimediasi. Harus ada kriteria ketat, pengawasan yang jelas, dan transparansi proses. Inilah yang dia coba rumuskan ketika menjabat Kadivkum Polri. Kerangka kebijakannya tidak sempurna dan menuai banyak perdebatan internal, tapi setidaknya membuka diskusi tentang alternatif penyelesaian perkara.
Latar belakang akademiknya dimulai dari S1 Hukum di Universitas Lampung, lanjut S2, kemudian S3. Perjalanan akademis ini dia tempuh sambil meniti karier sebagai perwira. Bayangkan beban kerjanya—pagi hingga sore urusan dinas, malam dan akhir pekan untuk belajar dan menulis. Ini bukan prestasi yang mudah dan menunjukkan komitmen terhadap pengembangan intelektual.
Yang membedakan Rudy dari akademisi hukum lainnya adalah pengalaman praktikalnya. Dia tidak hanya memahami teori hukum pidana, tapi juga tahu bagaimana kasus dibangun di lapangan. Bagaimana tersangka diinterogasi, bagaimana bukti dikumpulkan, bagaimana jaksa berpikir, bagaimana hakim memutus. Perspektif holistik ini membuatnya tidak jatuh ke dalam idealisme yang terlepas dari realitas.
Saat menjabat Kapolda Banten, dia mencoba implementasi konsep-konsepnya. Untuk kasus-kasus ringan tertentu, dia mendorong penyelesaian melalui mediasi di tingkat Polsek. Hasilnya bervariasi—sangat bergantung pada kapasitas dan pemahaman Kapolsek setempat. Di beberapa wilayah berhasil dengan baik, di tempat lain stuck karena resistensi atau ketidakpahaman.
Ini menunjukkan gap antara konsep dan implementasi. Ide bagus di atas kertas tidak otomatis berjalan mulus di lapangan. Butuh sosialisasi intensif, pelatihan, monitoring ketat, dan waktu untuk mengubah mindset. Rudy tampaknya paham keterbatasan ini, meski dia tetap optimis tentang arah reformasi yang dia usung.
Gelar profesor juga punya makna simbolis. Kalau dia terpilih sebagai Kapolri, dia akan menjadi yang pertama yang sudah lebih dulu memiliki gelar Guru Besar.
Ini sinyal bahwa kepemimpinan Polri tidak hanya butuh ketegasan operasional tapi juga kedalaman intelektual. Pertanyaannya: apakah Polri dan masyarakat siap dengan tipe kepemimpinan seperti ini?
Ada yang berpendapat Indonesia butuh pemimpin kepolisian yang lebih visioner dan berbasis riset. Ada juga yang bilang kita butuh yang lebih pragmatis dan action-oriented, bukan terlalu banyak mikir. Perdebatan ini sehat dan mencerminkan keberagaman ekspektasi publik terhadap institusi kepolisian.
Rudy sendiri tampak tidak terlalu terganggu dengan perdebatan itu. Dia tetap konsisten dengan prinsip-prinsipnya: penegakan hukum harus berbasis ilmu, keadilan harus substantif bukan hanya prosedural, dan reformasi harus dimulai dari sekarang meski prosesnya bertahap. Sederhana tapi tidak mudah untuk dijalankan.
Kategori : News
Editor : AHS









Posting Komentar