Revisi UU TNI Tak Bawa Reformasi, Hanya Perkuat Campur Tangan Militer ke Ranah Sipil

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka menegaskan bahwa revisi Undang-undang TNI tidak membawa reformasi. Menurut Mike, revisi UU TNI hanya memperkuat campur tangan TNI di ranah sipil yang ujungnya militerisme bisa  memperkuat otoritarianisme. 



Hal ini disampaikan Mike Tangka dalam seminar bertajuk 'Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi' di Universitas Indonesia, pada Rabu (8/10/2025). Seminar ini diselenggarakan oleh Front Mahasiswa Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, dan Jurnal Prisma.


"Kami menilai revisi UU TNI tidak membawa reformasi, melainkan memperkuat campur tangan militer di ranah sipil serta mempertahankan budaya maskulinitas dan patriarki dalam tubuh TNI," ujar Mike Tangka dalam seminar tersebut.


Mike menegaskan militerisme memperkuat kekuasaan otoriter, menyingkirkan perempuan dan kelompok rentan, serta menormalisasi kekerasan dalam kehidupan sosial. Dia menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan di TNI (hanya sekitar 2%) dan keterlibatan militer dalam proyek food estate yang berpihak pada investor dan merugikan masyarakat lokal. 



"Anggaran militer harus dikurangi dan dikembalikan pada pemenuhan hak dasar rakyat, serta agar TNI dikembalikan ke fungsi pertahanan murni di bawah otoritas sipil," tandas Mike.


Pada kesempatan itu, Symphati Dimas dari Front Mahasiswa Nasional menyoroti tema  yang diusung untuk memperingati hari TNI yang ke-80, 'TNI Prima TNI rakyat Indonesia maju', seakan-akan menggambarkan tni profesional yang melayani rakyat. TNI, kata Dimas, bertugas mempertahankan kedaulatan seluruh wilayah NKRI serta mempertahankan keselamatan bangsa dan melakukan operasi militer selain perang. 


"Tugas ini diatur dalam undang-undang yang menyebut bahwa TNI adalah alat negara yang fungsinya sangat lekat dengan presiden. Pada masa perang kemerdekaan, TNI bertugas untuk mempertahankan kemerdekaan," tutur Dimas.



Namun, kata Dimas, setelah itu, TNI menjadi alat negara untuk mempertahankan kepentingan penguasa pada masa Orde Baru, yang disebut sebagai dwifungsi ABRI. Menurut dia, kekuasaan militer di suatu negeri mendapatkan pengaruh besar dari dominasi imperialisme. 


"Dari negara Indonesia yang karakteristiknya setengah jajahan setengah feodal militer digunakan utamanya melindungi kepentingan borjuasi besar dan melayani penguasa. Sejak era pemerintahan Jokowi dan Prabowo, indeks demokrasi indonesia mengalami stagnasi," tutur dia.


Dimas juga mengungkapkan, pada era Prabowo kebijakan pertahanan indonesia menunjukan menguatnya peran militer, salah satunya dibuktikan dari pengesahan RUU TNI. Bagi para pendukung Prabowo, kata dia, RUU ini dianggap sebagai upaya memperkuat TNI dari segala bentuk ancaman. 


"Namun, dari sudut pandang masyarakat sipil, RUU tersebut mendapati kekhawatiran karena pada masa Orde Baru dwifungsi ABRI menghancurkan demokrasi. Implementasi dari undang-undang tersebut sangatlah luas dan mencakup berbagai sektor," tutur dia.


"Seperti ekspansi komando teritorial TNI yang mengakar sampai ke penjuru pedesaan. Kebijakan pembentukan batalyon teritorial pembangunan dengan 100 battalion direncanakan akan dikerahkan pada tahun ini untuk mendukung program pembangunan nasional," kata dia menambahkan.


Lebih lanjut, Dimas mengatakan kehadiran militer dalam pembangunan berpotensi melanggengkan militerisme di kehidupan sehari-hari. Selain itu, kata dia, TNI juga menjadi ancaman bagi generasi muda. Menurut dia, intimidasi khas militer Indonesia bisa menghambat generasi muda ekspresi sebagai barisan yang progresif, intelektual, dan ilmiah.


"Di tengah negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, kami kaum intelektual tidak diberi kebebasan untuk memiliki pengetahuan yang objektif," pungkas Dimas.


Kategori : News


Editor     : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama