JAKARTA, suarapembaharuan.com - Analis politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak Gugatan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) terkait pembatasan masa jabatan Kapolri 5 tahun, sudah tepat. Menurut Hargens, putusan MK telah tepat dalam membedakan antara Polri sebagai bagian integral dari negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer dan terikat pada siklus pemilihan umum.
"Saya sepakat dengan MK bahwa Polri itu bagian dari negara, bukan sekadar alat kelengkapan negara sehingga jabatan Kapolri tidak bisa dibatasi seperti jabatan politik. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka biarkan itu menjadi hak prerogatif presiden sebagai kepala negara," ujar Hargens dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).
Hargens menuturkan bahwa Polri bukan sekadar alat kelengkapan negara, tetapi merupakan bagian fundamental dari struktur negara itu sendiri. Karena itu, kata dia, kepemimpinannya tidak dapat diperlakukan sama dengan jabatan politik yang bersifat sementara.
"Kita berbicara soal fleksibilitas hak prerogatif di sini. Masa jabatan Kapolri tidak perlu diatur secara periodik seperti maksimal 5 tahun. Sebaliknya, durasi jabatan harus ditentukan oleh kebutuhan negara melalui kewenangan prerogatif Presiden sebagai kepala negara," tandas dia.
Hargens mengatakan pendekatan yang fleksibel memungkinkan negara untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi dan tantangan keamanan yang dinamis, tanpa terkungkung oleh batasan waktu yang artificial. Dia menilai pembatasan masa jabatan Kapolri secara kaku justru dapat kontraproduktif.
Dikatakan juga, dalam konteks penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan nasional, kontinuitas kepemimpinan yang efektif seringkali lebih penting daripada rotasi yang dipaksakan oleh kalender.
"Seorang Kapolri yang telah membangun sistem, memahami kompleksitas tantangan keamanan, dan memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai stakeholder, dapat memberikan kontribusi lebih besar jika diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan program-programnya," tutur dia.
Implikasi Putusan terhadap Sistem Ketatanegaraan
Lebih lanjut, Hargens menyoroti putusan MK ini membawa implikasi yang luas dan mendalam terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hal pemahaman tentang kedudukan lembaga-lembaga negara dan hubungannya dengan kekuasaan eksekutif. Menurut dia, putusan ini memperjelas batasan antara institusi negara yang bersifat permanen dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer.
"Saya menilai putusan MK ini memperkuat independensi Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak terikat pada kepentingan politik jangka pendek pemerintahan tertentu," kata dia.
Selain itu, tambah Hargens, MK telah memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Presiden dan Kapolri yang bersifat konstitusional, bukan hubungan atasan-bawahan dalam struktur kabinet. Di dalamnya tetap ada penegasan prinsip checks and balances, bahwa meskipun Presiden memiliki prerogatif, pengangkatan Kapolri tetap memerlukan persetujuan DPR, menjaga keseimbangan kekuasaan.
"Putusan ini juga memberikan preseden penting dalam memahami karakteristik berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan Indonesia. Tidak semua jabatan yang diangkat oleh Presiden otomatis menjadi bagian dari kabinet atau tunduk pada logika politik elektoral," terang Hargens yang saat ini sedang menyelesaikan studi ilmu hukum.
"Ada kategori jabatan-jabatan strategis yang meskipun pengangkatannya merupakan prerogatif Presiden, namun secara fungsional harus menjaga jarak dari dinamika politik untuk memastikan objektivitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas konstitusionalnya," tutur dia menambahkan.
![]() |
Hargens juga menegaskan putusan ini merefleksikan kematangan demokrasi Indonesia yang mampu membedakan antara kontrol demokratis dengan politisasi institusi negara.
"Kontrol demokratis diperlukan dan dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR, namun hal tersebut tidak berarti institusi seperti Polri harus tunduk pada siklus politik atau menjadi instrumen politik pemerintah yang sedang berkuasa," pungkas Hargens.
MK diketahui menolak gugatan terkait Undang-Undang Polri soal pembatasan masa jabatan Kapolri maksimal 5 tahun. Ada dua putusan terkait masa jabatan Kapolri dalam UU Polri yang dibacakan MK secara bersamaan, yakni perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025 dan 147/PUU-XXIII/2025. Putusan dibacakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Dalam pertimbangannya, MK membahas soal tidak adanya frasa 'setingkat menteri' untuk mendefinisikan posisi seorang Kapolri di UU Polri. MK mengatakan hal itu merupakan hal penting karena pelabelan 'setingkat menteri' menunjukkan kepentingan politik Presiden akan dominan dalam menentukan seorang Kapolri.
"Padahal, secara konstitusional, pasal 30 ayat (4) UU 1945 secara expressis verbis (cetho welo-welo) menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara. Sebagai alat negara, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan, termasuk di atas kepentingan Presiden. Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara," ujar MK.
MK mengatakan pemohon yang meminta agar pengangkatan dan pemberhentian Kapolri mengikuti berakhirnya masa jabatan presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet malah dapat menggeser posisi Kapolri menjadi anggota kabinet.
MK menegaskan menggeser jabatan Kapolri menjadi anggota kabinet tidak sejalan dengan keberadaan Polri sebagai alat negara dalam UUD 1945.
"Menurut mahkamah, jabatan Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan namun tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden," ujar MK.
Kategori : News
Editor : AHS



Posting Komentar