JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sejumlah elemen masyarakat menyatakan keprihatinan terhadap situasi demokrasi Indonesia yang belakangan ini dinilai terancam di tengah menguatnya militerisme. Demokrasi Indonesia dinilai berada di ambang krisis dengan normalisasi TNI di ranah sipil di era pemerintahan Prabowo Subianto.
Hal ini merupakan salah satu intisari diskusi Koalisi Masyarakat Sipil, Jurnal Prisma, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katholik Parahyangan, pada Selasa, 4 November 2025 di Universitas Katholik Parahyangan. Acara tersebut terkait dengan launching jurnal dan diskusi publik bertajuk 'Hubungan Sipil Militer di Tengah Krisis Demokrasi: Arus Balik Reformasi TNI'.
Dalam diskusi tersebut, Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan ketika Prabowo Subianto diangkat menjadi Menhan sudah menjadi putar balik politik di Indonesia, bahkan diberikan anggaran paling tinggi. Pada masa itu, kata Julius, dibeli besar-besaran alutsista yang tidak diketahui rencana dan strateginya secara jelas termasuk Prabowo mengekspor ribuan peluru ke Myanmar yang berkonflik, dan lain-lain.
"Dari dulu hingga sekarang menjadi presiden, Prabowo semakin mengarah pada otoriter, menggunakan identitas kekuatan masa lalu, sosok karismatik dan perkasa. Saat ini seakan kita menghadapi situasi seperti masa 1930-an, dengan adanya Hitler, yang di dalamnya membuat kebijakan dan praktik negara yang melampaui kewenangan yang konstitusional," ujar Julius dalam diskusi tersebut.
"Terjadi normalisasi militer di ruang sipil, sehingga militer menjadi familiar dalam kehidupan publik yang sipil; masyarakat kemudian akan terbiasa terhadap militer dan kemudian akhirnya militer menguasai. Terjadi manipulasi dan propaganda yang kemudian justru menjadi vandalisme. Masyarakat yang dimilitarisasi oleh militer dan kemudian terjadi normalisasi, menyesatkan alam pikir kita sebagai sipil," kata dia menambahkan.
Julius mengatakan, di banyak negara, Gen Z potensial digunakan sebagai alat untuk mengkritisi kekuasaan atau bahkan mengambil alih kekuasaan tersebut. Namun, setelah diruntuhkan, kata dia, Gen Z juga tidak menempati posisi-posisi strategis.
"Di banyak negara ini bahkan, sipil kemudian diposisikan tanpa identitas, tanpa arah, tapi potensial digunakan. Sipil dan publik kemudian dikambinghitamkan untuk merebut kekuasaan atau menghancurkan demokrasi," kata Julius.
Di Indonesia saat ini, lanjut Julius, normalisasi sudah terjadi, di semua aspek kehidupan. Hanya satu kebijakan atau peraturan yang tidak disentuh saat ini, kata dia, adalah UU Peradilan Militer, padahal UU ini yang menentukan apakah reformasi militer ini selesai. Menurut dia, inilah absolutisme yang tidak tersentuh; zombie ini bangkit, lebih kuat dari pada zaman Soeharto, lebih normal dari zaman Soeharto.
"Untuk itu, perlu kita membangun sipil yang menolak normalisasi militer di ruang sipil, menolak militer di ruang sipil, apalagi militarisasi ruang sipil. Bila tidak, sipil akan jadi arus massa yang kemudian sangat mudah digunakan untuk kepentingan militerisasi," imbuh Julius.
Pada kesempatan itu, Dosen FISIP UNPAR, Idil Syafwi mengungkapkan 2 sudut pandang tentang militer, pertama, militer adalah kajian strategis di Hubungan Internasional dengan tujuan militer sebagai kekuatan untuk mencapai tujuan negara. Kedua, bagaimana menciptakan militer itu powerful dan profesional, digunakan untuk pertahanan, efek penggentaran, serta adanya kekuatan untuk menghadapi ancaman.
"Dalam kajian strategis, kajian militerisme berfokus pada penataan hubungan antara militer, sipil, dan masyarakat dengan asumsi utamanya, militer harus profesional, tidak bias niaga, tidak bias politik, tidak bias HAM, dan tidak menjadi ancaman terhadap Negara. Bila tidak dikontrol, militer yang diberikan kekuatan oleh rakyat bisa jadi menjadi ancaman kepada masyarakat atau bahkan kepada negara. Bahkan, bisa terjadi kudeta," jelas Idil.
Idil juga menyinggung soal perubahan militer akhir-akhir ini diarahkan karena aspek politik atau aspek strategis. Menurut dia, hal tersebut bisa dilihat dari beberapa hal, pertama anggaran meningkat sangat besar, bahkan anggaran lainnya akan dimasukkan ke pertahanan, termasuk food estate, dan lain-lain. Secara total bahkan sampai Rp 300an Triliun.
"Kedua, perubahan organisasi seperti di Batu Jajar kemarin ada 6 kodam baru yang ditambah dan penambahan struktur baru di dalam militer. Lebih strategis atau politik? Pengangkatan wakil panglima TNI yang sebelumnya ada," tandas dia.
Ketiga, lanjut Idil, regulasi terkait dengan revisi UU TNI yang memperluas kewenangan TNI, bisa mengisi jabatan sipil, usia pensiun yang ditingkatkan, dan lain sebagainya. Idil juga khawatir Indonesia sudah masuk kategori state authoritarianism.
Dikatakan, state authoritarianism di sejumlah negara dikenal dengan beberapa ciri di antaranya menggunakan demokrasi untuk membunuh demokrasi; tidak ada check and balancing, pemilu dan multipartai, namun tidak ada oposisi dan mengontrol partai; tidak ada sensor, tapi media dikendalikan; adanya sekuritisasi, menggunakan kritis agar tindakan non demokratis bisa digunakan; populisme, kebijakan pro rakyat untuk mengeksploitasi masyarakat; memberikan penghargaan pada loyalis; kebijakan luar negeri personal; dan lebih memilih like mindid countries.
"Dari situasi ini, yang terjadi adalah rezim akan menetralisir semua potensi ancaman terhadap kekuasaan termasuk dari militer, promosi berdasarkan loyalitas bukan meritokrasi; militer akan terlibat dalam berbagai permasalahan sipil, seperti menduduki jabatan sipil atau proyek yang biasa dijalankan oleh sipil, menurunnya otonomi dan profesionalisme militer, misalokasi anggaran, anggaran meningkat tetapi untuk perlindungan rezim bukan ancaman pertahanan eksternal, “Weaponizing national security”, menggunakan keamanan nasional untuk ekspansi otoritas domestik, merepresi oposisi, dan merestriksi kebebasan publik, dan Sumber persenjataan dari negara yang tidak mempertanyakan masalah penurunan demokrasi. Tujuan utama Adalah menjaga kekuasaan incumbent ketika represi tidak dimungkinkan. Militer tidak digunakan sebagai kepentingan politik, tapi kepentingan negara," pungkas Idil.
Kategori : News
Editor : AHS


Posting Komentar