JAKARTA, suarapembaharuan.com - Koalisi Masyarakat Sipil menyayangkan adanya tindakan Anggota Kodam VI/Mulawarman di Kutai Barat yang melakukan penggerebekan terhadap 6 orang yang diduga terlibat kasus narkotika. Menurut Koalisi tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU TNI, KUHAP, dan juga prinsip-prinsip penegakan hukum.
![]() |
| Ilustrasi |
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Democratic Judicial Reform (DeJure), PBHI, Imparsial, Centra Initiative, Raksha Initiatives, HRWG, dan Koalisi Perempuan Indonesia
"Kewenangan penegakan hukum, utamanya kasus narkotika, berada pada institusi Kepolisian atau Badan Narkotika Nasional, sehingga tidak seharusnya TNI melampaui kewenangan tersebut dengan dalih apa pun," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dari HWRG, Daniel Awigra dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/11/2025).
Daniel mengatakan, ketentuan Pasal 81 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika jelas menyebutkan bahwa Badan Narkotika Nasional memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum dalam lingkup peradilan umum, khususnya tindak pidana narkotika, terutama di bidang penyidikan. Selengkapnya disebutkan dalam pasal tersebut, 'penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini'.
"Artinya, penegakan hukum tindak pidana narkotika hanya dimungkinkan oleh penyidik yang berasal dari Kepolisian dan BNN dalam kapasitas mereka sebagai bagian dari penegak hukum," tandas Daniel.
Dari kasus dan ketentuan hukum di atas, kata Daniel, dapat diketahui bahwa personel TNI yang terlibat dalam penggerebekan tersebut tidak memahami prosedur dan proses penegakan hukum, apalagi untuk tindak pidana yang memiliki prosedur tersendiri. Menurut dia, tindakan penggerebekan yang dilakukan oleh personel TNI sepatutnya dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan.
"Sebab, dalam kerangka negara hukum, setiap orang berhak atas proses penegakan hukum dan peradilan yang adil. Selain itu, peristiwa tersebut juga menunjukkan semakin kacaunya pelaksanaan tugas dan fungsi TNI yang seharusnya berfokus pada pertahanan, bukan justru masuk ruang penegakan hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 30 UUD 1945," jelas Daniel.
Lebih lanjut, Daniel mengatakan pembiaran terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang dan fungsi sebagaimana terekam dari tindakan penggerebekan tersebut m, akan semakin mengancam hak asasi manusia dan kebebasan sipil, meskipun menggunakan dalih menciptakan rasa aman. Masuknya TNI dalam berbagai urusan sipil telah menguatkan Dwi Fungsi TNI yang tidak hanya fokus pada urusan pertahanan, tetapi melibatkan diri dalam kehidupan sipil.
"Indikasi tersebut dapat dilihat juga dalam kasus penanganan tambang ilegal dan penataan wilayah perkebunan yang dilakukan secara serampangan dengan dalih penertiban kawasan hutan melalui Satgas PKH," ungkap dia.
Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa tindakan TNI yang masuk ke ranah sipil secara serampangan. Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi tindakan penangkapan oleh personel TNI Kodim 0209/LB dan Korem 022/PT terhadap sekelompok orang yang diduga menggunakan narkoba (5 November 2025), kasus penggerebekan oleh TNI dalam kasus pupuk di Sumatera Utara, maupun penerbitan Surat izin keramaian yang dikeluarkan oleh Koramil 1810/Arcamanik pada awal November lalu.
Menyikapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil, kata Daniel, mendesak TNI tidak secara serampangan terlibat dan masuk dalam urusan sipil, dan bertindak sewenang-wenang atas nama penegakan hukum atau urusan sipil lainnya yang justru mengancam kebebasan sipil. Menurut dia, tindakan itu tidak hanya salah secara hukum, tetapi juga merupakan penyimpangan serius dari mandat dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara.
"Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang Pertahanan dan UU TNI menegaskan bahwa fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara bukan menjalankan fungsi penegakkan hukum, karena itu TNI sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penggerebekan atau memberi surat izin keramaian. Kewenangan tersebut secara tegas merupakan tugas dari aparat penegak hukum," jelas Daniel.
Koalisi, lanjut Daniel, memandang bahwa langkah Koramil Arcamanik tidak hanya menyalahi prosedur hukum, tetapi merupakan tindakan melampaui kewenangan yang pada akhirnya menghapus batas antara fungsi pertahanan dan fungsi keamanan yang sudah dipisahkan secara jelas di dalam konstitusi UUD NRI 1945. Dia menegaskan, apa yang dilakukan Koramil ini merupakan penyimpangan terhadap tugas, fungsi, dan kewenangan TNI.
"Penerbitan surat izin keramaian oleh Koramil Arcamanik adalah bentuk nyata dari masih bercokolnya mentalitas dwifungsi TNI, di mana aparat TNI merasa berhak ikut campur dalam urusan sipil," tegas Daniel.
Padahal, kata Daniel, semangat Reformasi menuntut agar TNI bertindak profesional dan fokus pada bidang pertahanan, bukan ikut pada urusan pemerintahan sipil. Menurut dia, fenomena ini semakin mempertegas fakta bahwa TNI sedang memperluas pengaruhnya di luar urusan pertahanan dan makin menjauh dari sikap profesionalisme
"Merespons tindakan penerbitan surat izin tersebut, Mabes TNI seharusnya memberikan peringatan disiplin tegas kepada personel atau satuan TNI yang telah menyalahgunakan kewenangan untuk ikut campur dalam urusan penegakan hukum," tutur dia.
Selain itu, kata Daniel, untuk memastikan profesionalitas TNI dan konstitusionalitas pelaksanaan tugas pokok TNI, seharusnya Presiden juga mengevaluasi dan meninjau ulang semua kebijakan yang membuka ruang bagi pelibatan TNI di ranah sipil, termasuk mencabut Perpres No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, karena bertentangan dengan Konstitusi, UU TNI, dan prinsip-prinsip reformasi sektor keamanan.
Lebih penting lagi, kata Daniel, untuk memastikan tegaknya supremasi sipil, DPR juga harus secara serius dan konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasan sipil yang demokratis terhadap militer (democratic civilian control).
Merespons langkah-langkah eksekutif dan semakin banyaknya pelibatan militer dalam urusan sipil, kata Daniel, semestinya DPR menggunakan hak dan fungsinya untuk mempertanyakan hal tersebut. Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan, khususnya terhadap pemerintah dan kebijakannya.
"Oleh karena itu, untuk memastikan TNI tidak keluar dari mandat konstitusionalnya sebagai alat pertahanan negara, DPR seharusnya secara optimal menggunakan haknya untuk bertanya, atau bahkan membentuk panitia kerja atau panitia khusus untuk melakukan penyelidikan terkait dengan adanya kecenderungan semakin banyaknya pelibatan militer dalam urusan-urusan sipil. Apabila terus dibiarkan, sistem demokrasi dan konstitusi akan semakin melenceng jauh dari relnya, serta hak asasi manusia dan kebebasan sipil semakin terancam," pungkas Daniel.
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar