JAKARTA, suarapembaharuan.com — Kasus dugaan perselingkuhan dan perzinahan yang menyeret nama publik figur Inara Rusli dan seorang pria bernama Insan Fahmi terus bergulir di tengah sorotan publik. Laporan yang diajukan oleh seorang perempuan asal Medan, Wardatina Mawa, yang mengaku sebagai istri sah Insan, semakin memanaskan keadaan setelah sebuah rekaman CCTV diduga dijadikan barang bukti.
Namun menurut pakar hukum Surpani Sulaiman S.H, S.Sos, M.Si, perkara ini masih jauh dari kata jelas. Banyak aspek yang dianggap belum terpenuhi untuk membuktikan tuduhan tersebut secara hukum. Rekaman CCTV Dinilai Belum Sah Secara Hukum.
Surpani menegaskan bahwa sejumlah unsur krusial belum dapat diverifikasi sehingga rekaman CCTV tidak bisa langsung dijadikan dasar kesimpulan.
Ia menjabarkan empat poin utama:
Keaslian rekaman belum dipastikan melalui pemeriksaan digital forensik.
Identitas sosok dalam video belum divalidasi oleh aparat penegak hukum.
Konteks rekaman—waktu, lokasi, dan kronologi—masih simpang siur.
Belum ada pemeriksaan independen yang mengonfirmasi bahwa rekaman tersebut benar terjadi di rumah Inara.
“Selama unsur-unsur itu belum terpenuhi, tuduhan perselingkuhan maupun perzinahan masih bersifat dugaan,” terangnya.
Selain mengulas aspek pembuktian, Surpani menyoroti pihak yang pertama kali menyebarkan rekaman CCTV tersebut. Ia menegaskan bahwa interior rumah adalah area privat, sehingga publikasi rekaman tanpa izin dapat mengarah pada pelanggaran UU ITE.
Menurutnya, tindakan tersebut berpotensi menabrak:
Pasal 27 ayat (1) tentang distribusi konten bermuatan kesusilaan,
Pasal 28 ayat (1) mengenai penyebaran informasi yang menyesatkan dan merugikan orang lain.
“Karena video tersebut beredar tanpa persetujuan penghuni rumah, dugaan pelanggaran privasi ini menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Apabila penyelidikan tidak menemukan bukti kuat terkait dugaan perzinahan, Surpani menilai bahwa Inara memiliki ruang hukum untuk mengambil langkah balik.
Menurutnya, ada dua tindakan yang dapat ditempuh:
1. Melaporkan penyebar CCTV atas dugaan pelanggaran privasi dan UU ITE.
2. Mengajukan laporan pencemaran nama baik jika tuduhan Mawa terbukti tidak berdasar.
“Beban pembuktian berada pada pihak pelapor. Jika tuduhan tidak dapat dibuktikan, unsur pencemaran nama baik sangat mungkin muncul,” beber Surpani.
Selain itu, Surpani mengingatkan bahwa dinamika kasus dapat berubah apabila Insan berada di bawah tekanan istrinya atau berusaha mempertahankan rumah tangganya. Dalam kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin tuduhan diarahkan sepenuhnya kepada Inara.
Namun ia menegaskan bahwa dari perspektif hukum, perzinahan adalah delik dua pihak, sehingga Insan tetap tidak dapat menghindar dari tanggung jawab pidana bila perbuatan tersebut benar terjadi.
Surpani juga menambahkan bahwa Inara dapat mengambil langkah hukum berbeda jika Insan ternyata memberikan informasi palsu mengenai status perkawinannya. “Jika terbukti bahwa Insan memberikan informasi menyesatkan mengenai status perkawinannya, Inara juga dapat melaporkan dengan dugaan penipuan atau pemalsuan identitas,” ungkapnya.
Dua pasal yang dapat digunakan yakni:
Pasal 378 KUHP tentang penipuan, Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan identitas atau dokumen.
Hingga kini, penyidik masih mengumpulkan keterangan dari seluruh pihak yang terlibat. Surpani menilai bahwa pemeriksaan menyeluruh, terutama pada aspek digital forensik dan legalitas bukti, merupakan kunci sebelum ada keputusan hukum.
Dengan masih adanya kerancuan bukti, potensi pelanggaran privasi, serta peluang laporan balik, kasus dugaan perselingkuhan antara Insan Fahmi dan Inara Rusli diperkirakan akan terus bergulir dalam waktu yang cukup panjang.
Kategori : News
Editor : AHS



Posting Komentar