JAKARTA, suarapembaharuan.com - Hakuhodo International Indonesia, melalui Sei-katsu-sha Lab mengungkap bagaimana kelas menengah Indonesia berevolusi dan juga beradaptasi untuk terus menjaga aspirasi.
Hakuhodo International Indonesia melalui Sei-katsu-sha Lab menyingkap hasil studi terbaru berjudul “Navigating the In Between - Living as Indonesian Middle Class. Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut, semula berjumlah 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Padahal, kelas menengah memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data BPS yang sama, kombinasi segmen ‘kelas menengah’ (middle class) dan segmen ‘menuju ke kelas menengah’ (aspiring middle class), mencakup 66,35 persen dari total populasi dan berkontribusi terhadap 81,49 persen konsumsi domestik Indonesia. Skala mereka yang besar, dapat menggambarkan bukan hanya kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia saat ini, tapi juga kondisi dan harapannya di masa depan. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pelaku industri pemasaran (marketers) untuk bisa memahami tidak hanya indikasi apa yang terjadi, tapi juga paham perspektif mereka agar bisa melakukan pendekatan yang tepat.
“Di dunia yang terus bergerak tanpa henti, kita semua dituntut beradaptasi. Kelas menengah sedang berada di pusaran perubahan, mereka membawa mimpi yang mendorong Indonesia untuk maju sekaligus menanggung tekanan yang terbentuk oleh zaman. Di Sei-katsu-sha Lab kami mempelajari manusia bukan sebagai tren, melainkan sebagai kisah hidup yang terus berkembang. Dan bagi para pelaku industri pemasaran, peran kita adalah mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan yang membuat hidup terasa lebih bermakna," kata Devi Attamimi, Group CEO Hakuhodo International Indonesia.
Rian Prabana, Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia & Head of Sei-katsu-sha Lab, menuturkan, “Studi ini memberikan warna dan perspektif baru tentang Kelas menengah di mana mereka terus tumbuh, tanpa kita sadari. Mereka tidak lagi sekadar mencari aspirasi, tetapi mencari keseimbangan. Brand perlu memahami sisi emosional ini yang sering tidak tergambarkan oleh angka statistik. Dengan membawa pandangan baru ini, Marketers dapat membangun hubungan yang lebih relevan dan memberikan peran penting dalam pertumbuhan mereka.”
Temuan Utama Penelitian
Pandangan terhadap kehidupan (Value on Life): Dari Penuh Mimpi Menjadi Realistis
Dulu, kelas menengah adalah segmen yang selalu berlomba-lomba naik tangga sosial-ekonomi, kini mereka lebih berpijak pada kenyataan. Mimpi untuk maju tetap ada, tetapi kini diimbangi dengan ketidakpastian hidup dan sikap yang lebih realistis.
89 persen responden mengatakan mereka tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan, yang menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan hidup.
Mereka menemukan makna di balik ketidaksempurnaan. Bagi banyak orang, pengalaman sulit menjadi titik balik pribadi, sesuatu yang mereka sebut “My Scar, My Strength.”
Prioritas diri kini bergeser dari “Look Good” menjadi “Feel Good.” Mereka tidak lagi mengejar validasi, melainkan ketenangan dan keseimbangan dalam hidup.
Sistem dukungan dari sekitar juga berubah. 72 persen responden menyebut memiliki jaringan sosial yang kuat, menunjukkan bahwa komunitas kini bisa juga berperan sebagai penopang stabilitas hidup, yang sebelumnya, role ini biasanya hanya datang dari keluarga. Ini menjadi bentuk baru dari “Social Insurance.”
Pandangan terhadap kesuksesan (Value on Success): From Proving to Improving
Kesuksesan tidak lagi diukur dari kekayaan ataupun kesuksesan finansial semata, tetapi mengutamakan kemampuan diri untuk bisa bertahan dan berkembang, serta mampu menjaga martabat dan rasa percaya diri mereka dalam menghadapi situasi yang sulit dan tidak menentu.
57 persen berencana memulai usaha sendiri, 42 persen ingin memberi dampak positif bagi sekitarnya, dan 38 persen berfokus meningkatkan pendidikan atau keterampilan.
Responden muda menunjukkan kedisiplinan finansial yang lebih baik dengan rutin membuat anggaran atau rencana keuangan setiap bulan.
Muncul pandangan baru tentang kesuksesan yang berakar pada semangat “Siri’ na Pacce” dari Bugis-Makassar, yang mencerminkan martabat dan empati. Banyak yang merasa bahagia bukan karena menerima bantuan, tetapi karena mampu membantu orang lain.
Persentase kelas menengah yang menyisihkan 10 persen dari pendapatan untuk zakat atau donasi meningkat dari 10 persen secara jumlah orang pada 2024 menjadi 15 persen pada 2025, menandakan bahwa memberi tetap menjadi bagian penting dari nilai diri mereka.
Pandangan terhadap pola konsumsi (Value on Consumption): Dari Konsumsi untuk Flexing Jadi Konsumsi untuk Feeling Good
Kelas menengah tidak lagi belanja semata untuk menunjukkan status mereka. Belanja kini mempunyai fungsi yang penting dalam bertahan di tengah-tengah ketidakpastian. Belanja yang tepat ditujukan untuk memprioritaskan diri mereka sendiri agar bisa merasa nyaman dan cukup.
90 persen menyebut kualitas yang konsisten sebagai alasan utama loyalitas terhadap Brand, mencerminkan bahwa menghargai kualitas berarti juga menghargai diri sendiri.
Mereka membeli bukan untuk pamer, tetapi untuk mengisi kembali semangat diri. Seorang responden bahkan menyebut motornya sebagai “penyemangat hidup,” simbol keberanian dalam menjalani hari.
70 persen merasa terhubung dengan Brand yang mampu meningkatkan suasana hati mereka, membuktikan bahwa kedekatan emosional kini menjadi faktor utama.
Meski anggaran terbatas, banyak yang tetap menyisihkan sebagian pendapatan untuk kebutuhan “Mental Therapy” seperti hobi, hiburan, atau waktu pribadi. 61 persen mengaku rutin memberi hadiah kecil untuk diri sendiri sebagai cara menjaga ‘kewarasan’ di masa penuh ketidakpastian.
Kesimpulan Penelitian
The Grown Up Middle
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kondisi yang sulit dan tidak menentu membuat kelas menengah Indonesia merasa perlu tumbuh lebih bijak dan lebih realistis menjadi The Grown Up Middle. Mereka kini menyadari kekuatan utama yang bisa mereka andalkan dalam situasi seperti ini ada pada diri mereka sendiri. Karena itu menjaga martabat dan harga diri menjadi lebih utama dan kestabilan dalam hidup menjadi sangat penting. Segala tindak-tanduk mereka kini dipengaruhi oleh orientasi dan prioritas baru untuk tetap stabil.
Status tidak lagi menjadi tolak ukur yang utama saat mereka mencoba berprogress, tetapi bagaimana mereka mempunyai kestabilan emosional dan daya tahan untuk tidak mudah jatuh. Bagi pelaku industri pemasaran, ini adalah ajakan untuk melihat perspektif baru dalam melakukan pendekatan dengan kelas menengah dengan tidak hanya menggambarkan aspirasi, tapi juga menjanjikan kestabilan. Brand dapat membuat peran penting dalam kehidupan mereka dengan muncul dalam keseharian mereka, berempati, dan secara tulus membantu mereka untuk tumbuh dengan rasa tenang.
Kategori : News
Editor : AHS




Posting Komentar