JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sejumlah elemen masyarakat, seperti Imparsial, Centra Initiative dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong perlunya reformasi peradilan militer. Pasalnya, praktek peradilan militer selama ini masih diwarnai oleh Ketidakadilan terhadap korban tindak pidana oknum TNI.
![]() |
| Ilustrasi |
"LBH Medan menekankan bahwa tanpa pembenahan serius, peradilan militer akan terus melanggengkan ketidakadilan dan menghasilkan korban-korban baru. Karena itu, reformasi untuk menghilangkan impunitas, meningkatkan transparansi, dan memastikan akuntabilitas menjadi agenda mendesak untuk diperjuangkan bersama," ujar Direktur LBH Medan, Irvan Saputra dalam diskusi bertajuk 'Urgensi Reformasi Peradilan Militer: Ketidakadilan Peradilan Militer dari Medan Hingga Papua' di Sadjoe Cafe and Resto, Jl. Prof. Dr. Soepomo No. 33A, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (30/10).
Diskusi ini diselenggarakan oleh Imparsial, Centra Initiative dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Irvan Saputra menegaskan bahwa diskusi kali ini harus menjadi momentum untuk mendorong reformasi peradilan militer. Menurut dia, meskipun dalam 3-4 bulan terakhir, terdapat beberapa proses hukum terhadap anggota TNI, hasilnya masih belum memberikan keadilan bagi korban.
Irvan Saputra pun menyinggung Lenny Damanik, ini dari siswa SMP berinisial MHS (15 tahun) di Medan yang tewas dianiaya oleh oknum TNI Sertu Riza Pahlivi. Pengadilan militer hanya menjatuhkan vonis penjara 10 bulan ke Sertu Riza Pahlivi dan restitusi Rp 12,7 juta.
"Kasus seperti yang dialami Ibu Lenny menjadi contoh nyata bagaimana sistem tidak berpihak pada keluarga korban," tandas Irvan.
Menurut Irvan, LBH Medan menilai bahwa pola putusan yang muncul justru menunjukkan impunitas yang masih kuat. Dia mengkritisi putusan tersebut karena ada kasus penyiksaan hingga menyebabkan kematian, namun tersangka tidak ditahan dan prosesnya minim transparansi, peliputan dilarang, dan pertimbangan putusan lebih banyak bergantung pada keterangan saksi dari pihak terdakwa.
"Beberapa contoh vonis juga disebutkan, seperti kasus penembakan MAF dengan hukuman hanya 2 tahun 6 bulan, serta kasus penyerangan oleh 15 pelaku yang berujung pada hukuman 8 bulan hingga 1 tahun 8 bulan," ungkap Irvan.
Pada kesempatan itu, Lenny Damanik, ibu MHS menyampaikan kekecewaannya terhadap proses peradilan militer yang dinilainya jauh dari rasa keadilan. Lenny Damanik menuturkan bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya 10 bulan penjara tidak sebanding dengan hilangnya nyawa anaknya.
Proses hukum pun berlangsung sangat lama, yakni 1 tahun 5 bulan sejak MHS meninggal, sehingga semakin menambah beban psikologis keluarga.
"Kami berharap agar hukuman setimpal, jadi jangan bunuh anak saya dua kali dengan ketidakadilan di peradilan militer," tanda Lenny.
Lenny Damanik juga mengungkapkan bahwa selama proses peradilan, pihak terkait hanya sekali datang ke rumah untuk menunjukkan perhatian, namun ia menolak kehadiran tersebut karena dianggap sudah terlambat. Sejak awal, ia mengambil langkah sendiri untuk mencari keadilan dengan melaporkan kasus ini ke Denpom. Dalam proses tersebut, ia didampingi oleh LBH Medan serta aktif berkomunikasi dengan para saksi untuk memastikan kasus ini diproses secara serius.
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar