Coretax: Serah Terima Antara Pangkal Kegagalan atau Titik Balik?

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


*Coretax, proyek raksasa dengan memori pendek*


Pemerintah menyebut perbaikan Coretax sudah "mulai terasa" oleh sebagian wajib pajak. Di atas kertas, Direktorat Jenderal Pajak bersiap menerima serah terima penuh pada 15 Desember 2025. Tim internal dan dua puluh empat ahli eksternal pun disiapkan sebagai tameng teknis. Tapi publik tak lupa bahwa Coretax bukan sekadar "sistem pajak baru". Ia adalah sistem perangkat jadi internasional (Commercial Off-The-Shelf) yang dipaksa menjadi Indonesia banget, dibangun oleh vendor luar, dirancang sejak hulu oleh konsultan asing, dan diluncurkan dalam kondisi setengah matang.



Ketika Menteri Keuangan menyebut perbaikan mulai terasa, masyarakat wajib bertanya: terasa bagi siapa? Dan pada kondisi apa? Sebab sejarah peluncuran Coretax menunjukkan, "terasa lebih baik" bukan otomatis berarti "siap dipakai 14 juta wajib pajak".


*Tiga kerentanan struktural yang diabaikan*


1. Benturan antara COTS internasional dan kedaulatan proses domestik saat Coretax dibeli sebagai produk jadi global. Artinya negara harus menyesuaikan diri pada logika vendor. Kustomisasi dari produk jadi, transfer pengetahuan tidak otomatis. Ketergantungan pada vendor menjadi bawaan keharusan pada tahap awal. Pada titik ini, publik berhak meminta audit kontrak, apakah klausul alih teknologi, kepemilikan source code, dan hak perubahan sudah jelas? Sebab banyak proyek TI gagal karena negara tidak benar-benar "memiliki" sistem yang dibangunnya sendiri.

2. Kesiapan non-teknis yang masih keropos: humas, edukasi, dan tata kelola. Coretax adalah sistem baru, cara kerja baru, logika pelaporan baru. Formulir SPT Orang Pribadi disederhanakan menjadi satu formulir induk dengan lampiran dinamis. Tetapi untuk masyarakat, kesederhanaan itu berubah jadi kejutan teknis. Ironinya, ketika sistem diluncurkan, humas DJP nyaris tidak bersuara. Tidak ada edukasi masif, tidak ada kampanye publik yang memadai. Hasilnya jelas: keluhan meledak, ketidakpahaman meningkat, dan reputasi sistem rusak sebelum matang.


*Makna sebenarnya dari klaim "perbaikan sudah dirasakan"*


Klaim ini menyenangkan telinga, tetapi kita harus memecahnya secara operasional. Apakah "dirasakan" berarti:

a.Error minor berkurang?

b.Modul utama stabil pada uji internal?

c.Atau siap menampung 14 juta pengguna, bagaimana dengan infrastruktur?


Faktanya, yang disebut pemerintah malah lebih dekat pada poin (a) dan (b). Untuk membuktikan (c), harus ada metrik: mean time between failure; latensi rata-rata; throughput; backlog bug dan time-to-fix. Tanpa angka, "perbaikan dirasakan" hanyalah pernyataan berbumbu optimisme.


*Risiko besar menjelang serah terima 15 Desember 2025*


Sebelum tangan DJP menyentuh dokumen handover, ada beberapa hal yang wajib diaudit:


1. Source code dan kepemilikan hak cipta, pastikan tidak ada komponen dengan lisensi yang mengikat negara pada vendor.

2. Audit keamanan independen oleh Badan Siber dan Sandi Negara karena kita baru keluar dari insiden PDN dan ancaman LockBit. Sistem pajak nasional tak boleh punya lubang.

3. Checklist alih pengetahuan oleh dua puluh empat ahli eksternal, supaya tidak hanya jadi dekorasi. Negara harus memastikan transfer pengetahuan lengkap.

4. Rencana rollback dan kelangsungan layanan jika Coretax gagal saat musim SPT, siapa bertanggung jawab? Sistem apa yang dipakai? Berapa lama downtime bisa ditoleransi?


*Konteks hulu: konsultan asing yang menyusun kerangka proyek*


Ada bagian penting yang sering luput disampaikan pemerintah, yakni tentang persiapan awal Coretax yang disusun oleh konsultan asing, terutama PricewaterhouseCoopers dan Accenture. Mereka menangani desain awal arsitektur, analisis proses bisnis, integrasi data dan perbandingan dengan Australia, Korea Selatan, dan Finlandia.


Biaya awalnya Rp 200–300 miliar. Di fase inilah arah proyek ditentukan tentang siapa vendor yang mungkin masuk, arsitektur apa yang digunakan, dan bagaimana sistem pajak Indonesia disesuaikan dengan model global. Ini bagian yang wajib diselidiki oleh auditor negara dan aparat hukum, sebab dari sinilah "bias vendor" biasanya bermula.


*Analisis peran integrator: siapa yang sebenarnya membangun Coretax?*


Pelaksana inti proyek adalah Konsorsium LG CNS–Qualysoft. Perannya bukan kecil, mereka menyusun modul inti, mengintegrasikan modul lama, menjalankan migrasi data, dan menangani adaptasi fitur vendor ke regulasi lokal. Integrator seperti ini memiliki kekuatan besar karena mereka tahu titik lemah sistem, menentukan bagaimana keamanan diimplementasikan, dan menyesuaikan arsitektur yang didesain oleh konsultan perencana.


*Bahan masukan untuk institusi negara*


BPK dan DPR idealnya bertanya terkait:


1. Apakah cakupan kontrak handover benar-benar sesuai standar internasional?

2. Apa bukti bahwa transfer pengetahuan telah dilakukan dengan lengkap?

3. Apakah konsultan asing (PwC, Accenture, Deloitte) ikut menyusun ToR yang mengarah ke vendor tertentu?

4. Apakah kemampuan 24 orang expert external sudah teruji dan apa background mereka?


Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tuduhan, ini prosedur standar proyek TI negara. Justru aneh bila tidak pernah ditanyakan selama bertahun-tahun!


*Coretax, antara harapan reformasi dan risiko etalase rapuh*


Coretax bukan kendaraan jelek. Ia hanya belum sepenuhnya dirakit, belum diuji di jalan raya, dan belum diisi bensin yang benar. Perbaikan memang ada. Itu fakta. Tetapi perbaikan parsial tidak sama dengan kesiapan total, terlebih adanya handover di saat masa kritis. Jika serah terima dipaksakan hanya demi memenuhi tenggat waktu, negara berisiko menghadapi gangguan nasional saat musim SPT 2026.


Lazimnya dalam pembangunan sebuah sistem akan ada beberapa fase menuju sistem yang stabil:


1. Fase masa stabilisasi, belajar dari banyak negara seperti Australian Tax Office (ATO) dari saat pertama kali digunakan secara masif masih membutuhkan 18 bulan untuk mencapai titik stabil.

2. Fase selanjutnya masuk dalam masa Operation & Maintenance, ini sangat krusial karena sistem dan infrastruktur akan diukur secara keseluruhan dan ini membutuhkan waktu dan expert yang mumpuni.


Indonesian Audit Watch menegaskan, sebelum menekan tombol serah terima, buka dokumennya, audit sistemnya, umumkan metriknya. Jangan ulangi kesalahan awal Coretax yakni tergesa-gesa, minim transparansi, dan komunikasi publik yang tercecer serta pastikan seluruh aparatur Pajak bersiap, terlebih peran humas, layanan pengaduan halo pajak sudah harus mengantisipasi terhadap semua kemungkinan.


*Ingat !! Negara tidak boleh mengganti sistem lama dengan pajangan digital yang rapuh. Beban itu akan jatuh ke 14 juta wajib pajak dan reputasi keuangan negara.*


Kategori : News


Editor      : ARS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama