JAKARTA, suarapembaharuan.com - Tiga pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan pandangannya terkait pemilihan teknologi internet rumah serta perkembangan Fixed Wireless Access (FWA) di Indonesia.
Ketiga pakar itu yakni Dr. Ir. Ian Joseph Matheus Edward, Dr. Ir. Mohammad Ridwan Effendi, dan Daniel Wiyogo Dwiputro.
Ketiga pakar tersebut menekankan pentingnya pemahaman kebutuhan pengguna dan kondisi layanan yang tersedia sebelum menentukan pilihan teknologi.
Dr. Ir. Ian Joseph Matheus Edward menegaskan bahwa Fiber-to-the-Home (FTTH) merupakan pilihan utama di wilayah yang sudah tersedia jaringan fiber. Menurutnya, FTTH menawarkan stabilitas tinggi, kecepatan maksimal, dan performa konsisten yang tidak dipengaruhi cuaca maupun kepadatan pengguna.
“FTTH seharusnya menjadi pilihan pertama di area yang sudah tersedia jaringan fiber. Stabilitas dan konsistensinya menjadikannya standar terbaik dibanding teknologi lainnya,” ujar Ian melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Sementara itu, Dr. Ir. Mohammad Ridwan Effendi, menilai bahwa Fixed Wireless Access (FWA) adalah solusi paling tepat untuk wilayah yang belum terjangkau serat optik. Menurutnya, FWA kini mampu menghadirkan koneksi rumah yang lebih stabil dibandingkan internet seluler biasa.
“Untuk area yang belum dilayani fiber, FWA adalah pelengkap ideal bagi layanan mobile. Performa koneksinya lebih stabil untuk penggunaan di rumah,” jelas Ridwan.
Ia menjelaskan, industri telekomunikasi Indonesia tengah memasuki fase baru setelah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) merampungkan lelang pita frekuensi 1,4 GHz. Spektrum ini menjadi dasar hadirnya layanan FWA 5G untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA).
Adapun dua operator ditetapkan sebagai pemenang yaitu PT Telemedia Komunikasi Pratama (Internet Rakyat) untuk Regional I, serta PT Eka Mas Republik (MyRepublic Indonesia) untuk Regional II dan III.
“Layanan FWA 5G diproyeksikan mulai beroperasi pada awal 2026 dan diharapkan membantu pemerataan akses internet, terutama di wilayah yang sulit dijangkau kabel fiber optik,” kata Ridwan.
Sementara, Daniel Wiyogo Dwiputro mengatakan bahwa FWA kini berkembang menjadi solusi strategis untuk menjawab tantangan last mile di negara kepulauan seperti Indonesia.
“Last mile adalah segmen tersulit dan termahal dalam penyediaan jaringan broadband. Di sinilah FWA 5G tampil sebagai pelengkap sekaligus solusi efektif untuk mempercepat pemerataan,” kata Daniel.
Ia menambahkan bahwa dengan dukungan standar 5G New Radio, terutama melalui teknologi Massive MIMO dan Beamforming, FWA mampu menghadirkan sinyal yang stabil, efisien, dan berkapasitas tinggi.
“Dengan konfigurasi antena hingga 64 atau 128 elemen, jaringan dapat mengarahkan sinyal secara presisi ke perangkat pelanggan, meningkatkan kualitas koneksi secara signifikan,” ucap Daniel.
Menurutnya, aspek ekonomi menjadi salah satu faktor kuat yang dapat mendorong implementasi FWA, terutama di wilayah suburban dan rural.
Aspek ekonomi dinilai menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong implementasi FWA, terutama di wilayah suburban dan rural. Biaya pembangunan FTTH didominasi oleh pengerjaan sipil seperti penggalian dan pemasangan ducting, yang mencapai hingga 80% dari total investasi.
“Di banyak wilayah, membangun FTTH sangat mahal. Data global menunjukkan bahwa CAPEX penyebaran FWA bisa kurang dari 10% dibanding FTTH. Bahkan TCO selama 30 tahun hanya sekitar 27%,” jelasnya.
Keuntungan inilah yang menjadikan FWA solusi paling masuk akal untuk percepatan akses internet di daerah berpenduduk jarang.
Ridwan menyoroti pentingnya pemilihan spektrum dalam implementasi FWA. Pita 1,4 GHz sebagai bagian dari mid-band ideal karena menawarkan kombinasi jangkauan dan kapasitas yang seimbang.
“Dengan 5G mid-band, kecepatan FWA dapat mencapai 100 hingga 500 Mbps. Untuk rumah tangga, kebutuhan streaming 4K hanya 25 Mbps, sehingga kapasitas ini lebih dari cukup,” ujarnya.
Namun, ia menyebut bahwa FTTH tetap unggul dari sisi latensi, yang berkisar 2–5 ms, sedangkan FWA berada di rentang 20–30 ms. Meski demikian, latensi FWA tetap memadai untuk mayoritas penggunaan rumah, termasuk streaming, video conference, maupun perangkat IoT.
Lebih jauh, ketiga ahli inipun sepakat bahwa masa depan jaringan broadband bukanlah persaingan antara FTTH dan FWA, tetapi kolaborasi saling melengkapi.
“Analisis mendalam terhadap tren global dan kondisi nasional menunjukkan bahwa hubungan antara FTTH dan FWA bukanlah kompetisi zero-sum. Masa depan industri telekomunikasi mengarah pada konvergensi infrastruktur,” tandasnya.
Pendekatan hybrid ini dinilai sebagai langkah strategi palinh efektif untuk mencapai inklusi digital secara merata, sekaligus memastikan akses internet cepat dan stabiil dapat dinikmati seluruh masyarakat di perkotaan maupun daerah terpencil.
Kategori : News
Editor : AHS


Posting Komentar