JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ahli Pembangunan dari Cornell University, Timothy Ravis menilai Gereja Katolik merupakan salah satu aktor penting dalam proses pembangunan di Flores khususnya di Manggarai Raya. Menurut Timothy, Gereja Katolik Manggarai kerap mengambil posisi yang konsisten mengkawal jalannya pemerintahan, bahkan menentang dengan tegas kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
"Saya juga benar-benar kagum dengan pengaruh Gereja. Dan bagaimana banyak orang dalam Gereja itu bicara untuk kepentingan masyarakat dalam konteks konfrontasi pembangunan, membantu, mendukung masyarakat dalam cara-cara yang mereka bisa," ujar Timothy saat menjadi narasumber diskusi publik bertajuk 'Mengevaluasi Logika Pembangunan di Manggarai: Tradisi Lokal Vs Politik Korup' di Aryaduta Semanggi, Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
Diskusi yang digelar Teras Literasi Nusa Tenggara Timur, dihadiri juga oleh sejumlah narasumber, seperti Analis Politik Senior Boni Hargens; Peneliti Senior Formappi Lucius Karus; dan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman.
Salah satu contoh nyatanya, kata Timothy adalah sikap Gereja Katolik di Flores termasuk Manggarai yang konsisten mendukung masyarakat adat di polemik Geothermal. Bahkan, kata dia, surat gembala prapaskah uskup se-Flores pada Maret 2025 lalu, dengan tegas menyerukan pertobatan ekologis dan menolak proyek geotermal karena tidak sesuai dengan konteks geografis Flores (gunung, bukit, sumber air terbatas) dan dapat menimbulkan dampak serius pada pertanian, air bersih, dan kehidupan masyarakat.
"Kita tahu bahwa tahun ini gereja telah mengambil posisi yang jelas mengenai geotermal. Itu ada Surat Gembala Pra-Paskah 2025. Menurut saya, tokoh-tokoh Gereja Katolik sangat jelas dalam persepektif mereka, dalam upaya mereka menyokong dan membantu warga lokal yang merasa dirugikan pembangunan geothermal," jelas Timothy.
Meskipun demikian, Timothy sendiri memahami adanya pro kontra dalam proses pembangunan termasuk rencana proyek geothermal. Karena itu, kata dia, selalu ada kelompok yang mendukung geothermal dengan berbagai alasannya dan ada yang menolak geothermal dengan segala alasannya termasuk di Manggarai.
Bahkan, kata dia, masyarakat adat di sekitar lokasi geothermal juga terjadi pro kontra soal geothermal.
"Ketika Anda pergi ke kampung lokasi geotermal, seperti Wae Sano, Wewo, Poco Leok, ada orang-orang yang pro, dan ada orang-orang yang kontra. Di beberapa tempat ada yang lebih kontra, di beberapa tempat ada yang lebih pro. Saya mengerti mengapa orang-orang menolak, dan saya mengerti mengapa orang-orang mendukung geotermal. Dan saya pikir kedua-duanya sangat berani dalam usaha mereka untuk melakukan hal yang menurut mereka benar," beber Timothy yang sudah lama melakukan penelitian pembagunan di Manggarai.
Bosisme Lokal Manggarai Jadi Sumber Masalah
Pada kesempatan itu, Analis Politik Senior Boni Hargens menegaskan bosisme lokal menjadi sumber masalah pembangunan di Manggarai Raya. Menurut Boni, bos-bos lokal ini mengkooptasi pembangunan di Manggarai demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
"Berdasarkan penelitian saya sejak tahun 2005, di berbagai daerah termasuk di Manggarai, bos-bos lokal ini sudah mulai mengendalikan pembaharuan sejak proses politik Pilkada. Dengan berbagai sumber daya yang mereka miliki, baik itu sumber daya ekonomi, politik, birokrasi bahkan sosial budaya, bos-bos lokal ini mengatur kepala daerah yang akan menang di proses pilkada. Setelah menang, mereka mengendalikan Bupati dalam proses pembangunan," jelas Boni.
Boni mengakui tidak mudah melawan bosisme lokal khusus di Manggarai karena mereka memiliki akses dan menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan birokrasi lokal atau daerah. Menurut Boni, ada 2 langkah penting melawan bosisme lokal ini, pertama, perkuat partisipasi bermakna dan penegakan hukum.
"Kelompok masyarakat baik itu gereja, kelompok adat, media, dan mahasiswa harus memperkuat partisipasi dalam kebijakan-kebijakan publik termasuk proses pembangunan. Harus mengontrol jalannya pemerintahan dengan suara-suara kritis dan diskusi hari ini merupakan salah satu bentuk partisipasi bermakna dan diharapkan diteruskan ke depannya," imbuh Boni.
"Begitu juga dengan penguatan penegakan hukum sehingga bupati-bupati atau pejabat daerah yang diduga terlibat kasus hukum, harus ditindak secara tegas. Jadi, kombinasi penguatan partisipasi bermakna dan penegakan hukum, bisa membuat para Kepala daerah, pejabat daerah, elite politik lokal dan para pengambil keputusan di level lokal, benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat termasuk di Manggarai Raya," pungkas Boni Hargens menambahkan.
Kategori : News
Editor : AHS






Posting Komentar