Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Pada Oktober 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri di titik yang diyakini publik sebagai puncak keberanian pemberantasan korupsi atas sumber daya alam. Seorang mantan Bupati Konawe Utara ditetapkan sebagai tersangka. Dugaan suapnya Rp13 miliar. Dugaan kerugian negaranya bukan recehan, tapi Rp2,7 triliun!
Tujuh tahun kemudian, kasus itu berhenti. Bukan karena diputus pengadilan. Bukan karena kerugian negara dipulihkan. Melainkan karena penyidikannya dihentikan!
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diterbitkan KPK pada Desember 2024 dan baru diketahui publik setahun kemudian, yakni akhir tahun ini. Sejak saat itu, satu pertanyaan tak bisa terjawab, apa yang sebenarnya dihentikan, perkaranya, atau tanggung jawab negara atas uang publik?
*Fakta yang tak pernah berubah*
Fakta-fakta dasar perkara ini tidak pernah dibantah. Dugaan suap tetap ada! Perizinan tambang tetap terjadi dalam periode 2007–2014. Dan angka Rp2,7 triliun tetap tercatat sebagai potensi kerugian negara yang pernah diumumkan secara resmi oleh KPK sendiri pada 2017!
Yang berubah hanyalah sikap institusional negara tersebut. Perubahan itu sah secara prosedural. KUHAP memang memberi kewenangan kepada penyidik untuk menghentikan perkara. Namun hukum tata negara tidak berhenti pada soal boleh atau tidak boleh! Hukum berbicara tentang tujuan, akuntabilitas, dan perlindungan kepentingan publik. Di titik inilah SP3 kasus Konawe Utara harus dibedah lebih dalam.
*Ketika “tidak cukup bukti” menjadi alibi sistemik*
Dalih paling umum SP3 adalah “tidak cukup bukti”. Namun dalih ini menjadi problematik ketika diterapkan pada kasus korupsi sumber daya alam. Undang-Undang Tipikor tidak pernah mensyaratkan kerugian negara harus berbentuk uang tunai yang sudah hilang. Pasal 2 dan pasal 3 justru menegaskan frasa “dapat merugikan keuangan negara”. Mahkamah Konstitusi, melalui putusan nomor 25/PUU-XIV/2016, bahkan menegaskan bahwa kerugian negara tidak harus nyata dan final. Artinya jelas, potensi kehilangan hak negara atas royalti, iuran tetap, dan penerimaan minerba sudah cukup secara hukum!
Jika bukti dianggap tidak cukup, maka yang patut dipertanyakan bukan peristiwanya, melainkan ketidakmampuan negara mengelola pembuktian kejahatan SDA yang kompleks.
*Izin sah bukan tameng pidana*
Dalih kedua yang sering digunakan adalah bahwa perizinan dilakukan secara administratif sah. Ini dalih lama yang sudah lama pula dibantah hukum.
Pasal 3 UU Tipikor tidak menguji sah atau tidaknya izin, tetapi apakah kewenangan disalahgunakan untuk menguntungkan pihak tertentu dan merugikan keuangan negara. UU Administrasi Pemerintahan bahkan mengakui bahwa keputusan yang sah secara prosedural dapat cacat secara substansi.
Dalam praktik korupsi sumber daya alam, izin sering kali rapi di atas kertas, namun merusak keuangan negara di lapangan. Hukum tidak buta terhadap realitas ini.
*Ketika kerugian negara diakui, tapi tidak dipulihkan*
Masalah paling serius dari SP3 ini bukan soal pidana semata, melainkan pengabaian total terhadap pemulihan keuangan negara. Kerugian Rp2,7 triliun bukan uang yang “hilang entah ke mana”. Ia adalah royalti yang tidak ditagih, iuran tetap yang tidak dibayar, produksi yang tidak dilaporkan, dan eksploitasi SDA tanpa kompensasi wajar.
UU Keuangan Negara dengan tegas menyatakan bahwa setiap kerugian negara wajib ditagih dan dipulihkan. SP3 pidana tidak pernah, dan tidak boleh menghapus kewajiban itu! Ketika penyidikan dihentikan tanpa rencana pemulihan, maka negara sesungguhnya kalah dua kali, yakni pelaku tidak dihukum, dan uang publik tidak kembali.
*BPK sudah mengingatkan, negara tidak mendengar*
Dalam sepuluh tahun terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berulang kali menemukan pola yang sama di sektor minerba, yaitu izin bermasalah, PNBP bocor, pengawasan lemah, dan sanksi administratif yang mandul.
Kasus Konawe Utara bukan pengecualian, melainkan contoh paling telanjang dari apa yang selalu diperingatkan BPK. Ironisnya, ketika kasus ini dihentikan, tidak terlihat satu pun mekanisme yang menjembatani rekomendasi audit dengan tindakan pemulihan!
Di sinilah SP3 ini bukan lagi soal hukum pidana, tetapi soal kegagalan tata kelola negara!
*Indikasi maladministrasi yang tak bisa diabaikan*
Undang-Undang Ombudsman menyebut maladministrasi sebagai penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, atau penggunaan kewenangan secara tidak semestinya. Dalam kasus ini, indikasinya nyata, yaitu: alasan SP3 tidak dijelaskan secara transparan kepada publik, kewajiban pemulihan keuangan negara diabaikan, dan diskresi digunakan tanpa keseimbangan dengan kepentingan publik.
Ini bukan tuduhan. Ini pertanyaan konstitusional yang sah diajukan oleh warga negara!
*Pelajaran pahit dari Konawe Utara*
Kasus ini mengajarkan satu hal penting bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penetapan tersangka, dan tidak boleh berakhir pada SP3 tanpa pemulihan.
*Selama negara masih memisahkan pidana dari keuangan negara, selama audit diperlakukan sebagai dokumen pelengkap, dan selama SP3 dianggap titik akhir, maka Rp2,7 triliun di Konawe Utara bukan yang terakhir.*
Mengapa KPK tidak mumpuni berfikir dengan komprehensif? SP3 itu sebenarnya pemikiran siapa, bukan pemikiran dari hak prerogatif presiden layaknya kasus ASDP yang kerugian negara juga tidak bisa tertagih bukan?
SP3 itu hanyalah satu angka dalam pola kerugian negara yang terus berulang, semakin besar, semakin mahal, dan semakin membahayakan masa depan keuangan publik!
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar