JAKARTA, suarapembaharuan.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Panglima TNI agar menginstruksikan jajarannya upaya perampasan tanah atau klaim sepihak oleh TNI di Pasuruan Jawa Timur dan Luwu Utara Sulawesi Selatan. Koalisi menilai dugaan perampasan dan klaim sepihak, pendudukan tanah, maupun tindakan pemaksaan lainnya bukan hanya melampaui kewenangan aparat TNI, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yang menjamin due process of law dan perlindungan hak-hak warga negara.
![]() |
| Ilustrasi |
"Kami mendesak panglima TNI untuk memerintahkan jajarannya menghentikan proses pengambilalihan tanah warga secara paksa dan memastikan jajarannya patuh pada prosedur hukum yang berlaku, yaitu dengan menempuh proses hukum yang sah," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Ardi Manto Adiputra selaku Direktur Imparsial dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).
Berdasarkan berita dan laporan yang dihimpun oleh Koalisi, kata Ardi, setidaknya terdapat dua konflik agraria yang terjadi antara TNI dan rakyat dalam beberapa waktu belakangan ini. Di antaranya peristiwa di Desa Wates, Semedusari, dan Pasinan, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dengan alasan untuk membangun batalyon TNI dan sekolah marinir yang terjadi pada November 2025.
Selain itu, kata Ardi, pada 4 Desember 2025, klaim sepihak atas tanah juga dilakukan oleh TNI dengan dalih untuk membangun Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di Kecamatan Tana Lili, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Warga setempat menolak pengambilalihan paksa tanah mereka dengan alasan bahwa tanah yang diklaim oleh TNI tersebut merupakan tanah mereka yang telah digarap secara turun-temurun dan bukan merupakan tanah negara.
"Dua peristiwa ini menambah jumlah angka konflik agraria yang terjadi di Indonesia," tandas dia.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (2025), setidaknya sepanjang tahun 2024 klaim fasilitas militer dan lapangan tembak di atas lahan pertanian dan pemukiman masyarakat telah menyebabkan letupan 6 (enam) konflik agraria di lahan seluas 1.217,20 yang menyebabkan 307 kepala keluarga terdampak.
Sedangkan letupan konflik agraria yang disebabkan oleh TNI berjumlah 5 (lima) kasus konflik dengan luas 1.231 hektar dan korban terdampak sebanyak 200 kepala keluarga.
Ardi mengatakan Koalisi meyakini peristiwa ini akan menambah deret panjang konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2025. Koalisi memandang bahwa eksekusi terhadap hak atas tanah tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan tetap harus melalui prosedur hukum yang berdasarkan putusan pengadilan.
"Segala bentuk pengambilalihan tanah, sekalipun oleh TNI, yang tidak melalui proses pengadilan yang sah, tidak bisa dibenarkan, dan merupakan bentuk nyata perampasan hak serta pelanggaran HAM warga negara. Jika terdapat sengketa kepemilikan tanah, maka hukum kita menyediakan jalur penyelesaian melalui pengadilan dan bukan dengan menerjunkan prajurit TNI untuk berhadap-hadapan dengan rakyat," jelas Ardi.
Sementara Julius Ibrani dari PBHI mengatakan Koalisi menilai bahwa praktik perampasan tanah secara sepihak oleh TNI dapat membuka jalan bagi pelanggaran HAM yang lebih luas. Hal tersebut, kata dia, mulai dari hilangnya hak masyarakat adat, hak atas tempat tinggal, hingga ancaman terhadap keselamatan dan keamanan warga negara.
Julius mengingatkan bahwa perampasan tanah yang sengaja dilakukan dengan menerjunkan prajurit TNI untuk berhadap-hadapan dengan rakyat sangat potensial menimbulkan kekerasan dan bahkan pelanggaran HAM. KPA mencatat TNI menjadi aktor ke-4 tertinggi yang melakukan kekerasan dan kriminalisasi dalam konflik agraria dengan jumlah 37 kasus.
"Oleh karenanya Koalisi menekankan perlunya proses peradilan dalam sengketa konflik agraria untuk menghindari adanya potensi penggunaan kekerasan dan mencegah pelanggaran HAM," tandas Julius.
Julius juga menegaskan bahwa konflik agraria adalah isu krusial sebab menjadi sumber dalam pemenuhan HAM untuk menunjang penghidupan, kesejahteraan, dan kualitas hidup individu maupun komunitas masyarakat. Menurut dia, konflik agraria yang kerap diikuti dengan perampasan tanah, kekerasan akan menghambat pemenuhan HAM dan juga keadilan sosial.
"Di sisi lain dalam negara hukum demokratis tidak ada institusi manapun termasuk militer yang boleh berada di atas hukum. Perampasan dan klaim sepihak, pendudukan tanah, maupun tindakan pemaksaan lainnya bukan hanya melampaui kewenangan aparat TNI, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yang menjamin due process of law dan perlindungan hak-hak warga negara," imbuh dia.
Karena itu, lanjut Julius, selain mendesak TNI, Koalisi juga mendesak Menteri Pertahanan untuk menghentikan kebijakan pembangunan pos militer di lingkungan penduduk sipil yang terjadi di Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Termasuk, kata dia, pihaknya mendesak Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Lekok, Pasuruan dan Tana Lili, Luwu.
"Komisi Nasional HAM segera melakukan pengawasan, mendorong perlindungan terhadap seluruh masyarakat di Pasuruan dan Luwu yang saat ini mengalami konflik agraria dengan TNI," pungkas Julius.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan LBH Medan.
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar