Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Air itu datang tanpa permisi. Menggulung rumah, menyeret kendaraan, menelan tubuh-tubuh yang tak sempat berlari. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, akhir 2025 menjadi penanda duka paling dalam dalam dua dekade terakhir. Ratusan nyawa melayang, tiga jutaan warga terdampak. Di pengungsian, para ibu memeluk anak mereka yang gemetar bukan hanya karena dingin, tetapi karena trauma.
Namun sebagai bangsa, kita wajib jujur, ini bukan semata murka alam. Ini adalah bencana yang disiapkan perlahan, selama lebih dari 20 tahun, lewat kebijakan yang salah, pengawasan yang lemah, dan hukum yang tumpul ke atas.
Saya ingin mengajak publik menelusuri jejak panjang itu, dengan bahasa yang membumi, dengan empati pada korban, namun dengan ketegasan hukum terhadap para pelaku, termasuk oknum pemerintah yang seharusnya sudah tahu, sejak 20 tahun lalu.
*Dari hulu yang gundul ke hilir yang tenggelam*
Dua dekade lalu, hutan-hutan di Sumatera masih relatif utuh. Ia bekerja seperti spons raksasa, yani menyerap hujan, menahannya di akar-akar pohon, lalu melepasnya perlahan ke sungai. Inilah fungsi hidrologis alami yang diajarkan alam jauh sebelum kita mengenal AMDAL dan RKL-RPL.
Lalu pelan-pelan semuanya berubah. Hutan diganti sawit. Lereng dibuka untuk tambang. HTI merangsek sampai ke hulu. Permukiman naik ke lereng-lereng curam. Legal, setengah legal, sampai yang benar-benar ilegal.
Air hujan yang dulu ditahan tanah, kini meluncur liar sebagai aliran permukaan. Sungai yang dulu jinak, kini menjadi lorong maut. Lereng yang dulu kokoh, kini longsor seperti pasir yang ditendang.
Ini bukan teori. Ini hukum alam yang sudah sering diperingatkan para ahli, dan ironisnya, juga sudah “diperingatkan” oleh auditor negara.
*Bukti audit yang berteriak, tapi tak diindahkan*
Sejak pertengahan 2000-an, Badan Pemeriksa Keuangan berulang kali menemukan satu pola yang sama, yaitu:
1. Perencanaan kebencanaan tidak berbasis kajian risiko yang memadai.
2. Sistem peringatan dini tidak terintegrasi hingga ke desa.
3. Anggaran mitigasi selalu kalah dibanding anggaran tanggap darurat.
4. Koordinasi antar kementerian dan pemda tumpang tindih dan lemah.
Dari satu periode ke periode berikutnya, temuan itu muncul lagi dengan kalimat yang hampir sama. Seolah-olah negara membaca, lalu melipat laporan audit itu, dan menyimpannya di laci.
Inilah dosa kebijakan kita, bahwa negara sudah diperingatkan secara resmi melalui mekanisme konstitusional audit, tetapi memilih berjalan seperti biasa.
Maka ketika banjir bandang dan longsor datang dengan kekuatan brutal, kita seharusnya tidak lagi bertanya, “Mengapa ini terjadi?” Pertanyaan yang lebih jujur adalah, mengapa peringatan 20 tahun ini diabaikan?
*Hukum yang tajam di atas kertas, tumpul di lapangan*
Undang-Undang Lingkungan Hidup sudah lama memberi senjata kepada negara yakni tanggung jawab mutlak, prinsip pencemar membayar, sanksi pidana berat, gugatan perdata untuk pemulihan.
Tapi dalam praktik, yang sering keluar hanya surat teguran, denda administratif ringan, atau pencabutan izin setengah hati. Jarang sekali kita melihat direksi korporasi duduk di kursi pesakitan karena merusak hutan. Lebih jarang lagi melihat aset hasil kejahatan lingkungan dirampas untuk memulihkan ekosistem.
Padahal korban banjir tahun ini adalah bukti hidup, dan bukti mati, bahwa kerusakan itu nyata, dan dampaknya mematikan.
*Di mana negara saat bencana disiapkan?*
Yang lebih menyakitkan bagi korban adalah ini: negara tidak sepenuhnya absen. Negara hadir memberi izin. Negara hadir membangun jalan ke kawasan yang rawan. Negara hadir lewat laporan audit. Negara hadir lewat peta risiko.
Tetapi negara sering tidak hadir dalam bentuk yang paling penting, yaitu keberanian untuk menghentikan, menertibkan, dan menghukum!
Di sinilah letak tanggung jawab moral dan hukum para pejabat yang dulu dan sekarang duduk di kementerian dan lembaga terkait lingkungan, kehutanan, PUPR, energi, hingga pemerintah daerah. Mereka bukan tidak tahu. Mereka tahu, dan seharusnya bisa memprediksi apa yang hari ini kita tangisi bersama!
*Momentum negara untuk membuktikan niatnya*
Pemerintah hari ini menyatakan niat untuk menegakkan hukum. Niat itu baik. Tapi rakyat tidak lagi butuh pernyataan. Rakyat butuh pembuktian. Langkah paling cerdas, paling cermat, dan paling adil adalah menggunakan pendekatan multi-pintu:
1. Pidana lingkungan terhadap pengurus korporasi yang kegiatannya terbukti merusak hulu hingga menimbulkan korban jiwa.
2. Gugatan perdata lingkungan untuk memaksa korporasi membayar biaya pemulihan DAS yang rusak, bukan hanya santunan simbolis.
3. Penerapan tindak pidana pencucian uang untuk membongkar dan menyita keuntungan dari kejahatan lingkungan.
4. Sanksi administratif paling maksimal, termasuk pencabutan permanen izin usaha.
5. Pemeriksaan oknum pemerintah yang diduga lalai, menyalahgunakan kewenangan, atau mengabaikan rekomendasi audit selama bertahun-tahun.
Inilah saatnya hukum tidak hanya mengejar pelaku di lapangan, tetapi juga menyentuh meja-meja kebijakan!
*Dari air mata korban ke titik balik bangsa*
Setiap korban yang meninggal bukan sekadar angka. Mereka adalah ayah yang sedang mencari nafkah, ibu yang menyiapkan makan, anak yang belum sempat meraih mimpi, lansia yang seharusnya menjalani sisa hidup dengan tenang.
Negara berutang pada mereka, bukan hanya belasungkawa, tetapi keadilan!
Bencana Sumatera 2025 harus menjadi titik balik, bukan sekadar lembar duka baru. Jika setelah ini hutan tetap digunduli, audit tetap diabaikan, dan hukum tetap tumpul, maka yang kita tunggu bukanlah “apakah bencana akan terulang”, tetapi kapan dan di mana.
Dua puluh tahun sudah cukup sebagai pelajaran. Sekarang waktunya negara membuktikan: *apakah ia benar-benar berdiri di sisi rakyat, atau kembali berdamai dengan kerusakan.*
Karena di hadapan korban, sejarah tidak ditulis oleh pidato, tetapi oleh keberanian untuk menghukum yang salah, memulihkan yang rusak, dan mencegah air mata berikutnya!
Kategori : News
Editor : ARS

Posting Komentar