Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Langkah Kejaksaan Agung menggeledah kantor Bea Cukai serta sejumlah rumah pejabat DJP aktif dan pensiunan dalam beberapa minggu terakhir bukanlah “aksi dadakan” atau sekadar koordinasi basa-basi antara Menkeu Purbaya dan Jaksa Agung. Ini adalah rangkaian panjang dari pola yang selama lima tahun terakhir diamati oleh Indonesian Audit Watch, yakni sedikitnya 40 entitas korporasi sudah masuk radar penegakan hukum terkait dugaan korupsi perpajakan, bea dan cukai. Dari pabrikan makanan-minuman, perbankan sampai group maskapai sudah pernah dipanggil Kejagung.
Dan lebih dalam lagi, IAW juga mendapat informasi bahwa ada lima kasus perpajakan besar yang mandek di KPK dan tidak pernah terpublikasi progres penanganannya. Sesama APH tahu kok tentang hal itu.
Artinya, apa yang kita lihat hari-hari ini hanyalah “puncak gunung es” dari persoalan struktural yang sudah diperingatkan oleh BPK lewat LHP dalam kurun 10 tahun terakhir, yakni menyangkut:
1. Koreksi fiskal yang tak sesuai ketentuan,
2. Restitusi pajak yang cacat prosedur,
3. Lemahnya pengawasan transfer pricing,
4. Celah tax amnesty yang disalahgunakan,
5. Serta potensi kerugian negara dari pos Bea Cukai yang terus berulang.
Semua temuan itu bertumpuk, lalu meledak menjadi rangkaian penggeledahan yang kita lihat hari ini.
*Kejagung seperti sedang menjalankan “Bab II”: membersihkan inti kerusakan keuangan negara*
IAW melihat pola yang konsisten, yakni Kejagung sedang membenahi titik-titik paling rawan tipikor dalam sistem pendapatan negara, itu dimulai dari Bea Cukai, serta kini bergeser ke DJP. Dan itu bukan tanpa alasan, karena:
1. Sepak terjang Kejagung dalam 5 tahun terakhir menunjukkan kapasitasnya membongkar tipikor raksasa, seperti:
- Jiwasraya, penyidikan mereka endus kerugian negara Rp 16,8 triliun.
- ASABRI, Rp 22 triliun.
- BTS Kominfo – Rp 8,2 triliun.
- Timah, ratusan triliun, kerusakan ekologis dan ekonomi.
- Kasus-kasus minyak dan tata niaga pangan bertahun-tahun.
Sampai sekarang ini Kejagung membuktikan mampu menangani kasus korupsi sistemik dengan nilai kerugian negara jumbo yang sebelumnya dianggap “tak tersentuh”. Semoga ini bisa kukuh mereka pertahankan.
Karena itu, sangat masuk akal jika kini mereka masuk ke sektor perpajakan dan kepabeanan, karena itu sumber pendapatan negara yang terbesar dan selama dua dekade dijaga rapat oleh “tembok teknokratis.”. Idealnya kita dukung langkah Kejagung tersebut.
*Kenapa perpajakan jadi target?*
Jawabannya, range kerugian negara terlalu gila untuk dibiarkan. Dalam sistem perpajakan Indonesia, kerugiannya bisa berasal dari:
1. Manipulasi pajak korporasi,
2. Transfer pricing yang agresif,
3. Undervalue eksport–import,
4. Restitusi abal-abal,
5. Tax planning yang sengaja menyesatkan,
6. Sampai penggunaan fasilitas tax amnesty untuk “mencuci” kewajiban lama.
BPK selama 10 tahun terakhir sudah memberikan puluhan rekomendasi yang secara implisit menggambarkan betapa bobroknya sebagian sektor ini. Namun penegakan hukum yang benar-benar tuntas hampir tidak pernah terjadi.
Karenanya, langkah Kejagung hari-hari ini, yakni menggeledah rumah pejabat DJP, menjadi sinyal bahwa era “tak tersentuh” perpajakan dan Bea Cukai mulai runtuh di masa Presiden Prabowo Subianto.
*Presiden layak mengapresiasi jika Kejagung konsisten Bongkar semua lapisan*
IAW menilai: jika Kejaksaan Agung bisa memaksimalkan momentum ini, yaitu membongkar penggelapan pajak, manipulasi impor-ekspor, transfer pricing, hingga skenario tax amnesty yang menyimpang, maka kerugian negara akan pulih signifikan, pendapatan negara terdongkrak tanpa menaikkan tarif, dan publik akhirnya melihat bahwa bersih-bersih bukan jargon, tapi operasi nyata.
Kinerja seperti ini harus menjadi model pemberantasan korupsi era Prabowo, yakni berbasis data, tidak pilih kasih, dan menyasar kerusakan struktural, bukan sekadar individu kecil.
*Penutup IAW*
Penggeledahan Bea Cukai dan DJP bukan insiden. Ini episode baru. Dan jika Kejagung berani menyelesaikan sampai ke akar, termasuk korporasi yang selama ini memakai loophole perpajakan sebagai model bisnis, maka kita memasuki fase reformasi perpajakan yang sesungguhnya!
*Reformasi yang selama 20 tahun hanya menjadi slogan, kini akhirnya menyentuh jeroannya.
Kategori : News
Editor : AHS

Posting Komentar