Syarat Penumpang Pesawat Wajib PCR, Aktivis 98 Tuding Bisnis Kelompok Oligarki

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Mulai hari ini, para calon penumpang pesawat wajib menunjukkan surat negatif Polymerase Chain Reaction (PCR) yang diambil H-2 sebelum penerbangan. Kewajiban menggunakan PCR untuk naik pesawat diatur dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021, yang dikeluarkan Satgas Covid-19.


Sahat Simatupang (tengah)

Kebijakan tersebut menuai polemik di masyarakat di tengah kasus Covid-19 di Indonesia yang mulai menurun. Apalagi, harga PCR tidak semurah antigen yang sebelumnya boleh digunakan sebagai syarat terbang.


Menanggapi polemik itu, Aktivis 98 menuding, kewajiban melakukan tes PCR untuk bepergian dengan pesawat meski sudah mendapat vaksinasi Covid - 19, menunjukkan tata kelola hulu hingga hilir penanganan Covid - 19 amburadul.


"Pebisnis dan oligarki hanya memikirkan untung. Negara seperti tak berdaya membuat regulasi," kata Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang, Minggu (24/10/2021).


Sahat memperbandingankan penumpang pesawat dengan penumpang bus. Dengan Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 yang dikeluarkan Satgas Covid-19 maka penumpang pesawat wajib tes PCR dengan harga Rp 495 ribu hingga Rp 525 ribu.


"Tapi bagi penumpang bus antar pulau seperti dari Sumatera ke Pulau Jawa atau sebaliknya boleh tanpa tes PCR. Cukup bayar Rp 50 ribu diluar ongkos anda bisa masuk ke Pulau Jawa atau ke Sumatera tanpa hambatan. Surat Edaran Nomor 21 Satgas Covid itu tidak berlaku di moda transportasi darat," ujar Sahat.


Salah satu penyebab mahalnya alat tes PCR, ujar Sahat, karena 100 persen masih dipasok melalui jalur impor. Pemasok alat tes tersebut di antaranya adalah Korea Selatan, China, Singapura dan Malaysia dengan nilai impor sejak Januari 2021 hingga Juni 2021 mencapai US$ 362,02 juta atau senilai Rp 5,1 triliun (kurs Rp 14.100). Impor alat tes PCR tersebut dilakukan dari beberapa negara dan yang terbesar dari Korea Selatan (Korsel) dan China dengan total US$ 243, 2 juta atau Rp 3, 4 triliun.


"Importir nya kan kelompok yang itu - itu juga, dari perusahaan tekstil, perusahaan kosmetik hingga yayasan. Kenapa test PCR mahal dan wajib bagi penumpang pesawat ? Karena alokasi keuntungannya kami duga mengalir untuk pelaksana test, airline, bandara serta lembaga pemberi ijin pelaksanaan test," ujar Sahat. Mestinya, sambung Sahat, pemerintah menerapkan pilihan - pilihan untuk test Covid - 19 sebagai syarat terbang.


"Misalnya bagi penumpang yang sudah satu kali vaksin cukup anti gen test. Bagi yang sudah vaksin lengkap cukup test GeNose C19 di bandara. Tapi sekarang alat test GeNose buatan dalam negeri itu malah tidak dipakai di bandara dengan berbagai alasan. Peraturan kembali harus test PCR itu lah yang menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan pebisnis dan oligarki," ujar Sahat.


Sahat menambahkan, perusahan pengimpor alat test PCR dari Korsel sebenarnya beragam merek dan harganya tidak semahal yang dipakai di Indonesia.


"Tapi karena jaringan bisnis kelompok oligarki ini kesana, ya jadinya test PCR sangat mahal. Kalau pun terpaksa impor, saya kasih contoh produk solgent molecular diagnostic kits buatan Korsel yang bersertifikat Food and Drug Agency certificate USA dan Community Europa certificate harganya jauh lebih murah yakni harga US$ 2/kit dan dipakai di banyak negara. Tapi karena pebisnis kelompok oligarki itu lebih memilih alat test PCR buatan Korsel yang lebih mahal.Dampaknya penumpang pesawat harus membayar mahal test PCR," pungkas Sahat.


Pada Agustus lalu, Kementerian Kesehatan menurunkan tarif tertinggi tes PCR yang semula Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 untuk luar Jawa-Bali. Kemenkes memastikan durasi maksimal waktu pengeluaran hasil tes PCR dengan tarif baru tersebut maksimal 1x24 jam.


Kategori : News

Editor     : AHS



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama