Pembangunan Jalan ke Kawasan Otorita Labuan Bajo Menuai Hambatan

LABUAN BAJO, suarapembaharuan.com - Pengembangan kawasan pariwisata Bowosie Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terintegrasi dan berkelanjutan alami hambatan saat mulai dikerjakan. 


Ist

Padahal hal ini selain bertujuan menghadirkan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi masyarakat, juga menyelamatkan kelestarian hutan Bowosie dari perambahan liar yang menyebabkan rusaknya hutan di kawasan tersebut.


Saat pembukaan jalan ke kawasan hutan, sekelompok oknum masyarakat sengaja mengganggu jalannya pekerjaan, dari mulai menghadang ekskavator, bentangkan spanduk protes hingga berteriak ke petugas agar pekerjaan dihentikan. Mereka berdalih lahan di hutan tersebut milik mereka.


Menanggapi hal ini, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina menjelaskan pembangunan akses jalan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan punya dasar hukum yang kuat.


Pembangunan akses jalan menuju Kawasan otorita berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: S.220/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2021 tanggal 31 Mei 2021 mengenai Persetujuan Dispensasi Penggunaan Kawasan Hutan Produksi Tetap untuk kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Pariwisata dan pendukungnya an. Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas ± 14 Ha.


"Saya dan tim BPOLBF sejak tahun 2019 sudah melakukan komunikasi intens dengan masyarakat sekitar, dan selalu melibatkan desa sekitar dalam setiap langkah kegiatan dan pembangunan, seperti Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu sebagai desa penyangga kawasan melalui sosialisasi kepada masyarakat," ungkap Shana Fatina di Labuan Bajo, NTT, Kamis (28/04/2022).


Selain itu juga pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah desa yang bersangkutan di setiap tahap kegiatan dalam serangkaian program pembangunan dan pengembangan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores.


Secara administratif, lanjut Shana, wilayah penyangga kawasan otorita ada di Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu. Sejauh ini BPOLBF melalui tim terpadu sejak 2020 telah berkoordinasi dengan 2 Kantor Desa dan 1 Kantor Kelurahan tersebut dan telah melakukan sosialisasi terkait rencana pengembangan kawasan pariwisata yang akan dilaksanakan oleh BPOLBF.


"Juga terkait isu lingkungan, BPOLBF juga telah melakukan kajian ilmiah dan telah keluar AMDAL yang menjadi acuan BPOLBF dalam melakukan pembangunan diatas kawasan tersebut, tentunya dengan mengedepankan kaidah atau nilai keberlangsungan dan berkelanjutan lingkungan. Proses penyusunan AMDAL melibatkan berbagai pihak termasuk dari pihak kelurahan dan desa penyangga, yaitu para Lurah dan Kepala Desa," ungkap Shana.


Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah Manggarai Barat, Stefanus Nali, menyatakan penolakan warga atas pembukaan jalan proyek pengembangan kawasan wisata di hutan Bowosie dinilai tidak tepat karena lahan yang diklaim adalah lahan negara yang dirambah.


"Lahan yang dipermasalahkan masuk kawasan Hutan Nggorang-Bowosie. Dalam catatannya, perambahan liar terjadi sejak 1998, dan pada 2015 pihaknya menemukan patok-patok yang terpancang secara ilegal Lalu kami laporkan ke polisi,” kata Stefanus.


Menurutnya dengan bertambahnya masyarakat yang menghuni kawasan hutan kelestarian hutan makin terancam. Maraknya perambahan liar menyebabkan kerusakan hutan di kawasan hutan Bowosie cukup masif. Meskipun berkali upaya penertiban dilakukan tetap saja diulang lagi dan makin meluas. Dia mengakui dengan keterbatasan personil sangat sulit pengawasan bisa maksimal terlebih area hutan yang cukup luas.


"Sebagai contoh, dari luas lahan 400 hektar yang akan dikelola BPOLBF, kurang lebih 135 hektar atau 34 persen telah rusak dan kondisinya telah dibabat habis dan dibakar perambah hutan," jelasnya.


Nali menjelaskan status hukum Kawasan Hutan Nggorang Bowosie (RTK 108) sebagai lahan negara sebelumnya sudah tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan nomor 89/Kts-II/1983 tertanggal 2 desember tahun 1983. SK ini memuat ketentuan terkait Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur seluas ± 1.667.962 Ha sebagai Kawasan Hutan yang didalamnya termasuk kawasan hutan Nggorang Bowosie.


"BPOLBF memang awalnya mencari lokasi diluar kawasan dan memang itu tidak ada. Disampaikan ke kami dimana lokasi yang bisa dimanfaatkan maka kita tunjuklah lokasi itu. Saat orientasi juga sudah disampaikan bahwa disini ada permasalahan, sebelah kanan sampai SPBU masih ada perambahan meskipun itu lahan negara. Dari wae nahi ke timur (arah serenaru – lancang) itu yang kosong. Saya hanya menunjuk lokasinya," jelas Stefanus.


Sesuai dengan perpres 32 tahun 2018, lanjut Stefanus, luas lahan yang dikelola oleh BPOLBF 400 Ha tapi dalam itu ada 135 yang dikelola secara otoritatif itu dikeluarkan dari kawasan hutan menjadi aset BPOLBF itu kewenangan kami disitu tidak ada. 265 Ha nya itu izin pengelolaan jasa wisata alam kepada BPOLBF dan itu tanggung jawab kami masih ada dan masih lahan negara.


"Berdasarkan perpres 32 itu. Dari KLHK hanya persetujuan prinsip tukar menukar kawasan. Jadi yang 135 itu tukar menukar kawasan di Kabupaten Ngada seluas 500 Ha. Sehingga di NTT secara keseluruhan tidak mengalami perubahan dan itu sudah berproses," pungkasnya.


Melihat kondisi hutan Bowosie yang memprihatinkan tersebut, BPOLBF berupaya akan membangun kawasan ekowisata dengan tujuan melestarikan hutan Bowosie sekaligus menyerap tenaga kerja dan meningkatkan perekonomian sekitar.


BPOLBF tengah bersiap mengembangkan empat zona pengembangan pariwisata di lahan seluas 400 hektare Hutan Bowosie, pengembangan area itu untuk menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di Labuan Bajo. Pengembangan tersebut berdasar amanah Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada tahun 2019.


Didalamnya mengatur tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 hektare hutan Bowosie di Kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita. Sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.


Kategori : News

Editor     : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama