Pegiat Lingkungan Dorong Pemerintah Susun Regulasi EPR Penanganan Sampah Plastik

JAKARTA, suarapembaharuan.com – Pegiat lingkungan mendorong Pemerintah Pusat membuat regulasi dalam pengelolaan dan pengurangan sampah plastik. Regulasi yang dimaksud terkait dengan tanggung jawab produsen yang diperluas (extended producer responsibility/EPR).


Foto: Komunitas para pelapak sampah harus diberikan bantuan pendanaan oleh perusahaan atau pabrik yang memproduksi plastik, melalui regulasi extended producer responsibility (EPR). Ist

Nantinya, regulasi ini akan mengikat perusahaan atau produsen pembuat kemasan plastik seperti sampah plastik jenis PET (botol dan gelas mineral), kantong kresek, mainan berbahan plastik, penampungan air misalnya ember, pipa PVC, dan sebagainya, ikut menanggung biaya dalam menangani sampah plastik yang diproduksinya.


“Biasanya kegiatan penyediaan bahan baku daur ulang hanya berfokus beberapa jenis plastik, tidak semua sampah plastik ditangani dengan baik,” kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto, Rabu (14/12/2022).


Dia menjelaskan, penanganan semua sampah plastik membutuhkan modal dan infrastruktur yang besar. Bagi pelapak atau usaha kecil menengah tak akan mampu menyediakan modal Rp 200 juta hingga Rp 500 juta, apalagi sebesar Rp 1 miliar. 


Belum lagi, pengadaan infrastruktur dan peralatan kerja seperti penyediaan lahan minimal 500 meter persegi (m2), hanggar atau gudang, mesin press yang harganya sekitar Rp 85 juta/unit, pemakaian daya listrik yang tinggi, kendaraan angkut, timbangan, dan sebagainya. 


“Jelas, kegiatan penyediaan bahan baku untuk industri daur ulang butuh modal besar sehingga tidak setiap komunitas, pengepul kecil dan menengah mampu menyediakan modal besar, teknologi, infrastruktur, kendaraan operasional yang cukup,” tuturnya. 


Menurutnya, komunitas para pelapak sampah harus didukung oleh perusahaan atau pabrik yang mengeluarkan produk plastik tersebut. 



Berdasarkan amanat Pasal 15 dan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sudah mengatur bahwa produsen yang mengeluarkan plastik kemasan harus menanggung beban limbahnya. 


“Semakin besar limbah yang dikeluarkan semakin besar tanggung jawabnya. Itulah yang disebut extended producer responsibility atau EPR,” ungkapnya.


EPR atau tanggung jawab produsen yang diperluas merupakan kebijakan dimana produsen diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang dibuat atau jual serta kemasan saat produk atau material tersebut telah menjadi sampah.


Dengan kata lain, kata dia, produsen membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang material barang tersebut.


“Negara-negara industri maju secara konsisten dan ketat mengimplementasikan EPR sehingga sektor industri patuh terhadap regulasi yang dibuat negara, seperti penerapan EPR di Korea Selatan, yang berhasil mengelola sampah plastiknya,” tuturnya. 


Dia mendorong Pemerintah Pusat membuat regulasi dan menerapkan EPR melalui Peraturan Pemerintah (PP) guna menyukseskan pengelolaan sampah plastik di Indonesia. 


“Selama ini, sektor informal seperti pemulung, pelapak, buruh sortir sampah, kebersihan kota, yang membersihkan sampah botol atau gelas mineral, plastik kemasan, dan sebagainya, tidak mendapat timbal balik dari perusahaan yang memproduksi plastik kemasan. Perusahaan tidak peduli dengan pemulung atau pelapak,” kata Bagong yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI). 


Dia menanyakan, kapan negara akan menyusun kebijakan terkait EPR? “Perusahaan-perusahaan yang memproduksi kemasan plastik sangat besar, mungkin lebih dari 25% tetapi belum mau menerapkan EPR, sampai kapan?” pungkasnya. (MAN)


Kategori : News

Editor     : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama