Jahatnya Shadow Government di Balik Chromebook, Negara Digerakkan Sebelum Pelantikan

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


Mas Menteri” belum dilantik, tapi sudah merancang negara


Sebuah ironi negara. Belum dilantik, belum resmi punya kekuasaan, tapi sudah sibuk mengatur proyek negara bernilai triliunan. Itulah fakta mencengangkan di balik kasus pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). 


Ist

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kejaksaan Agung, grup WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team” sudah aktif sejak Agustus 2019, dua bulan sebelum Nadiem Makarim resmi dilantik Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019. Luar biasa hal itu bisa sampai terjadi!


Koordinasi di grup itu bukan sekadar obrolan biasa. Mereka yang dominan terafiliasi korporasi besar merancang kebijakan strategis, termasuk pengalihan dari sistem Windows ke Chrome OS dalam program digitalisasi sekolah. Terlihat jahat indovidu dan korporasi berkomplot, masa kita diam saja? Masa itu ditoleransi?


Padahal, kebijakan seperti itu semestinya lahir lewat dari kajian teknis yang sah, dan hanya boleh ditetapkan oleh pejabat publik yang sah pula. Tapi inilah wajah shadow governance, yakni pemerintahan bayangan yang bekerja di luar konstitusi, di balik layar, tanpa mandat publik.


Modus operandi: vendor sudah siap, negara cuma formalitas


IAW menelusuri dokumen LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) Kemendikbudristek. Salah satu tender bernomor P.3462023 mensyaratkan spesifikasi yang sangat tertutup:


- Chrome OS

- Google Education License

- Enrollment Management System berbasis Google


Artinya? Spesifikasi itu sudah dikunci untuk vendor tertentu bahkan sebelum tender diumumkan. Siapa yang menguasai pasar perangkat dan lisensi Google di Indonesia? Ada tuh, inisialnya D yang saat dilidik tahum 2023  oleh para penyelidik Kejagung, salah satunya mereka mendapat dokumen-dokumen terkait impor perusahaan tersebut.


Perusahaan itu saat ini sedang resah, mencoba hendak 'cuci tangan' padahal bukti sudah ada, yakni sebagai salah satu pihak yang terafiliasi kasus korupsi Chromebook. Nanti alurnya tentu sama-sama bisa kita lihat pada fakta persidangan. Perusahaan itu disebut-sebut menguasai 89% pasar Chromebook pemerintah. Vendor lain sepertinya tidak mungkin mampu untuk menyaingi.


Lebih gawat lagi, 78% pengadaan tahun 2020–2022 di Kemendikbudristek menggunakan skema penunjukan langsung, bukan lelang terbuka. Praktik ini bukan cuma melanggar prinsip persaingan, tapi juga menutup peluang efisiensi dan transparansi.


Pasal demi pasal yang terpenuhi


Indonesian Audit Watch menilai, pola ini memenuhi sejumlah unsur tindak pidana dalam berbagai undang-undang, sekaligus ini adalah modus yang harus jadi cermatan pembuat undang-undang, yaitu:


- Pasal 13 UU Tipikor: sebab ada indikasi janji atau tekanan dari aktor di luar pemerintahan untuk memengaruhi kebijakan negara.

- Pasal 21 UU Tipikor: berpaya menyembunyikan atau membelokkan proses hukum dengan koordinasi informal.

- Pasal 12 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan: karena ada konflik kepentingan antara calon pejabat dan vendor.

- Pasal 22 UU No. 5/1999: spesifikasi dikunci sebagai teknik halus pelanggaran persaingan usaha sehat.

- Pasal 1365 KUHPerdata: timbul kerugian negara hingga Rp1,2 triliun, sehingga bisa digugat 3x lipat secara perdata.


Preseden hukumnya sudah ada. Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusan No. 45 PK/PID.SUS/2023 bahwa perencanaan pengadaan sebelum jabatan resmi bisa dikategorikan sebagai konspirasi korupsi.


Studi banding global, kita tidak sendirian


Bukan cuma Indonesia, dunia juga pernah terjebak vendor dan poyek gimmick. Kasus Chromebook yang terjadi di Indonesia bukanlah satu-satunya di dunia. 


Sejumlah negara besar pernah mengalami hal serupa, yakni proyek teknologi pendidikan yang pada akhirnya lebih menguntungkan vendor daripada murid, dan lebih menguntungkan korporasi ketimbang negara.


Di Amerika Serikat, gugatan dilayangkan terhadap Google karena mengumpulkan data pribadi siswa lewat perangkat Chromebook dan akun Google for Education, tanpa izin sah dari orang tua maupun lembaga pendidikan. Komisi Perdagangan Federal Amerika (FTC) akhirnya menjatuhkan denda USD 170 juta pada tahun 2019. Kasus ini mencoreng citra perusahaan teknologi yang mengklaim peduli pada dunia pendidikan.


Berpindah ke Spanyol, proyek bertajuk EDU 365 yang digulirkan pada 2009–2012 disorot otoritas antimonopoli karena spesifikasi tender yang dikunci hanya untuk satu vendor. Kolusi terjadi secara sistematis dan akhirnya berujung pada denda €15 juta setelah penyelidikan oleh Komisi Pasar dan Persaingan Nasional (CNMC). Proyek edukasi yang awalnya digembar-gemborkan sebagai digitalisasi sekolah berubah jadi skandal pengadaan.


Sementara di Nigeria, semangat besar dari proyek ambisius One Laptop per Child (2005–2015) justru berakhir pahit. Ribuan laptop menganggur dan tidak terpakai karena tidak sesuai dengan kebutuhan lokal, baik dari sisi konten, infrastruktur listrik, maupun kapasitas guru. Akibatnya, proyek tersebut dihentikan sepenuhnya, menyisakan tumpukan perangkat di gudang-gudang pemerintah dan sekolah-sekolah.


Lalu di Korea Selatan, program Smart Classroom (2013–2017) yang awalnya dimaksudkan untuk mempercepat digitalisasi ternyata digunakan sebagai ajang markup harga dan permainan vendor yang terafiliasi dengan pejabat. Hasil investigasi oleh Badan Audit dan Inspeksi Korea (BAI) menyimpulkan adanya kelemahan serius dalam pengawasan proyek. Pemerintah hanya menjatuhkan teguran keras, tetapi publik menilai hukuman itu terlalu lunak untuk kerugian yang ditimbulkan.


Pelajaran buat Indonesia? Peramcang, pelaku dan penikmat dari kejahatan serapi itu harus sesegera diberangus semaksimal mungkin!


Jika negara-negara dengan sistem hukum dan pengadaan yang jauh lebih mapan saja bisa terjebak dalam pusaran vendor dan janji palsu digitalisasi, maka Indonesia harus lebih waspada. Kasus Chromebook bukan sekadar proyek gagal, tetapi gejala sistemik shadow governance dan konspirasi teknologi yang membajak kebijakan publik.


Yang paling tegas, kasus in jauhi beda dari Tom Lembong sebab niatan jahat sudah ada pada kommplotan tersebut sejak jauh hari sebelum Nadiem dilantik. Tidak sulit Kejaksaan Agung dan KPK untuk membuktikan mens rea-nya bukan?


Kita bukan korban pertama, tapi jangan sampai jadi korban abadi. Indonesia kini harus belajar. Bukan hanya dari keberhasilan, tapi juga dari kegagalan negara lain.


Solusi IAW tangkap akar masalahnya


Kami mendorong beberapa langkah konkret:


1. Audit forensik oleh BPK dan PPATK terhadap aliran dana tahun 2019–2020, bahkan sebelum pelantikan Nadiem.


2. Kejagung dan KPK harus fokus pada perencanaan pra-jabatan, bukan sekadar lelang akhir.


3. Revisi UU Tipikor, memasukkan pasal “Perencanaan Korupsi Sebelum Menjabat”.


4. Gugatan perdata ke korporasi, termasuk vendor global seperti Google dan mitranya.


5. Larangan total vendor afiliasi pejabat ikut tender negara.


Jangan biarkan sekolah jadi ladang

 eksperimen korporasi


Di tengah semangat digitalisasi dan modernisasi pendidikan, kita tidak boleh lupa bahwa anak-anak sekolah bukan kelinci percobaan. Apalagi kalau kebijakannya lahir dari ruang-ruang obrolan informal, penuh konflik kepentingan, dan hanya menguntungkan korporasi global.


Jika dibiarkan, kita akan terus jadi negara yang dijajah teknologi dengan restu kekuasaan.


*“Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri.”*


Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama