JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam amar putusannya mengenai Perkara Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dengan Nomor Perkara: 321/Pid.Sus/2025/PN.Jkt.Brt atas nama Terpidana ALBERT MANOREKANG, yakni terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang karena kelalaiannya mengakibatkan seseorang meninggal dunia, seseorang mendapatkan luka berat sehingga tidak dapat beraktivitas secara normal, dan rusaknya kendaraan bermotor mendapatkan Vonis Pidana Penjara selama 1 (satu) bulan dipotong masa Tahanan Kota. Vonis Majelis Hakim ini lebih rendah dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni dengan Pidana Penjara selama 2 (dua) bulan.
Menanti keadilan, namun asa tak sampai! Itulah potret penantian panjang bagi Keluarga Korban Meninggal Dunia yang tercermin setelah proses hukum berjalan hampir 1 (satu) tahun sejak peristiwa kecelakaan maut yang terjadi pada tanggal 25 Agustus 2024 pukul 03.05 WIB di Jalan Tol JLB KM. 01.700A Cengkareng Jakarta Barat, yang melibatkan sebuah Mobil Sedan BMW Putih No. Polisi B 1251 PEQ yang dikemudikan oleh Terdakwa ALBERT MANOREKANG dengan sebuah Mobil Truk Box No. Polisi D 8882 BV milik ARMAN PERMADI (saksi) yang dikemudikan oleh Korban MUHAMAD AZIZ MUSLIMIN. Dalam kecelakaan tersebut juga terdapat 3 (tiga) penumpang lainnya di Mobil BMW yang menjadi korban, yakni HESSEL NATHANIEL (Korban Meninggal Dunia), IAN RENALDI (Korban Luka Ringan), dan KEYZIA ALFIAN RAINTUNG (Korban Luka Berat/ Cacat Permanen).
Di tingkat pertama Penyelidikan dan Penyidikan, Polisi yang dalam hal ini bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Laporan Polisi Nomor:
LP/A/664/VIII/2024/SPKT.SATLANTAS/POLRES METRO JAK BAR/POLDA METRO JAYA tertanggal 25 Agustus 2024 telah mengamankan beberapa barang bukti yang relevan. Selanjutnya dilakukan pelimpahan perkara ke Kejaksaan Negeri Jakarta Barat untuk disidangkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Menariknya, selama rangkaian tahapan proses hukum tersebut Terpidana ALBERT MANOREKANG tidak pernah dilakukan penahanan badan di sel/ penjara oleh Aparat Penegak Hukum yang berwenang.
Adapun yang menjadi Dakwaan JPU pada Agenda Sidang Perdana pada tanggal 24 April 2025 adalah dengan Dakwaan Kumulatif yaitu:
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 22/2009) ancaman hukuman dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah);
Pasal 310 ayat (3) UU 22/2009 ancaman hukuman dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
Pasal 310 ayat (1) UU 22/2009 ancaman hukuman dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP yang merupakan suatu Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis) dengan ancaman maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Di tengah-tengah proses Persidangan, Majelis Hakim berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma 1/2024) sempat menganjurkan kepada Ahli Waris Korban Meninggal Dunia, yakni Bpk. TONY HIRA untuk mau menerima upaya perdamaian berupa penggantian kerugian oleh keluarga Terdakwa ALBERT MANOREKANG kepada keluarga Korban Meninggal Dunia HESSEL NATHANIEL, tanpa menggugurkan tuntutan pidananya. Sebelumnya upaya perdamaian dengan pemberian ganti rugi secara materiil seperti ini juga telah berhasil ditempuh oleh Terdakwa ALBERT MANOREKANG terhadap para korban lainnya di luar pengadilan.
“Seyogyanya dalam pandangan filosofis kami mengenai proses mengadili pidana berdasarkan keadilan restoratif itu memiliki maksud dan tujuan untuk mengupayakan pemulihan hubungan Korban atau Keluarga Korban terhadap Terdakwa mengenai penganjuran pertanggungjawaban Terdakwa berupa ganti rugi yang dialami atas kelalaian laka lantas yang mengakibatkan Korban Meninggal Dunia sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Perma 1/2024.”
Lebih lanjut, “Esensi dari penerapan Keadilan Restoratif tentu haruslah sesuai apa yang termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) Perma 1/2024, bahwa Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Hal ini berkesinambungan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana termaktub dalam Pasal 235 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang pada intinya menjelaskan bahwa akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban luka berat dan/atau meninggal dunia pengemudi wajib memberikan bantuan ganti rugi dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Ungkap DEGA KAUTSAR PRADANA, S.H., M.Si (Han), salah satu Penasihat Hukum dari Ahli Waris Korban Meninggal Dunia HESSEL NATHANIEL.
Terdapat fakta yang menarik dan terkesan tidak lazim terjadi dalam agenda Penuntutan oleh JPU tanggal 14 Agustus 2025, dimana JPU hanya menuntut Terdakwa ALBERT MANOREKANG dengan Pidana Penjara selama 2 (dua) bulan dipotong masa Tahanan Kota yang sudah dijalani Terdakwa selama ini. Hal ini sangat bertentengan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Selain itu, dalam tuntutannya juga JPU Menyatakan Terdakwa ALBERT MANOREKANG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas mengakibatkan orang lain meninggal dunia, korban luka berat, dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
“Kami merasa sangat kecewa dengan tuntutan JPU yang sama sekali tidak memepertimbangkan pemenuhan rasa keadilan kepada Korban. JPU yang notabene-nya mewakili kepentingan hukum Korban justru menunjukkan ketidak-berpihakannya kepada Korban yang Meninggal Dunia. Tuntutan seringan itu menjadi pertanyaan besar bagi kami, bagaimana JPU merumuskan tuntutan hukuman dan menerapkan teori Restorative Justice dalam perkara ini ? Apakah JPU telah gagal membuktikan unsur-unsur dakwaan terhadap kejahatan yang dilakukan Terdakwa ? Ungkap NOVITA ZAHRANI GAFUR S.H., M.H. Penasihat Hukum Keluarga Korban Korban Meninggal Dunia HESSEL NATHANIEL.
“Bahwa sebagaimana sistem hukum pidana di Indonesia yang saya yakini adalah untuk mencapai tujuan pemidanaan seperti pembalasan, pencegahan, rehabilitasi dan pelindungan masyarakat, maka tujuan pemidanaan haruslah mengakomodir atas aspek keadilan, memberikan efek jera dan perbaikan bagi pelaku agar dapat kembali ke masyarakat serta pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya lagi”, sambung NOVITA.
Penerapan hukum proses mengadili pidana berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dijadikan sebagai Alat Transaksional. Dalam kepentingan hukum Korban yang diwakili oleh Aparat Penegak Hukum harus memiliki makna bahwa segala bentuk pergantian kerugian memang sudah dianjurkan dalam UU 22/2009 dan Perma 1/2024 serta cenderung lebih berat berpihak terhadap kepentingan Korban Meninggal Dunia.
Proses mengadili pidana berdasarkan Keadilan Restoratif juga seyogyanya tidak dapat dijadikan Alat Negosiasi sebagai bentuk perdamaian yang dijadikan dasar dan alasan untuk meringankan penjatuhan pemidanaan bagi Terdakwa ALBERT MANOREKANG. Akal sehat, moralitas, hati nurani dan keyakinan agama mana yang membenarkan, APAKAH HILANGNYA NYAWA SESEORANG DAPAT DIPERTUKARKAN DALAM BENTUK PERDAMAIAN? APALAGI DIJADIKAN SEBAGAI DASAR DAN ALASAN UNTUK MERINGANKAN HUKUMAN ATAS PERBUATAN PIDANA BAGI TERDAKWA.
“Bahwa acapkali kelirunya Aparat Penegak Hukum dalam menafsirkan hukum yang menyebabkan pula salahnya penerapan hukum mewarnai konstelasi dan mencoreng marwah Peradilan di Indonesia. Vonis yang dijatuhkan terhadap Terdakwa ALBERT MANOREKANG ini merupakan satu dari sekian banyak potret peradilan di Indonesia yang mengabaikan pemenuhan hak serta rasa keadilan bagi Korban, terlebih lagi Korban Meninggal Dunia. Hal ini menjadi preseden buruk bagi institusi Peradilan dan semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Aparat Penegak Hukum tutup OKTA HERIAWAN - Penasihat Hukum Keluarga Korban Korban Meninggal Dunia HESSEL NATHANIEL.
Meskipun JPU masih pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum Banding terhadap Vonis Majelis Hakim yang menjatuhkan setengahnya dari Tuntutan JPU tersebut, Keluarga Korban tetap berharap JPU masih memiliki hati nurani untuk memperjuangkan keadilan bagi Korban dengan mengajukan Banding dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari ke depan sebagaimana termaktub dalam Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar