JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua SUAKA Atika Yuanita Paraswaty mengatakan pemahaman mengenai prosedur dan prinsip penahanan seharusnya tidak hanya diberikan kepada aparat kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga kepada petugas lembaga pemasyarakatan atau sipir penjara. Hal ini disampaikan Atika dalam diskusi publik bertajuk 'Konstitusionalisme KUHAP: Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Penegakan Hukum' di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jumat (15/8/2025).
"Seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam rantai proses peradilan pidana harus memiliki pemahaman yang sama mengenai standar hukum penahanan, agar tidak terjadi perlakuan yang bertentangan dengan hak-hak tersangka maupun terdakwa," ujar Atika dalam diskusi tersebut.
Dalam kerangka itu, kata Atika, Peraturan Kapolri, Peraturan Jaksa, dan Peraturan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Atika mengingatkan agar revisi KUHAP yang saat ini sedang dibahas tidak justru menyesuaikan diri dengan peraturan internal masing-masing lembaga penegak hukum.
"Karena hal tersebut akan melemahkan kedudukan KUHAP sebagai rujukan utama. Sebaliknya, KUHAP harus disusun selaras dengan Konstitusi dan menjamin perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam hukum tertinggi negara," tandas dia.
Dia juga menyoroti pentingnya penerapan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum secara konsisten, yang mewajibkan negara menjamin akses bantuan hukum gratis bagi setiap orang yang tidak mampu, sejak tahap penyelidikan hingga pelaksanaan putusan.
Menurut Atika, bantuan hukum yang ideal adalah bantuan yang diberikan secara cepat, efektif, dan tanpa diskriminasi, serta menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak atas peradilan yang adil (fair trial) dan hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi.
"Hal ini harus menjadi bagian integral dari pembaruan KUHAP, sehingga penahanan dan proses hukum berjalan tidak hanya sesuai prosedur, tetapi juga menghormati martabat manusia," jelas dia.
Sementara pembicara lain, akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Bhatara Ibnu Reza menilai bahwa KUHAP dapat dibaca sebagai bagian dari penyempurnaan politik militer yang telah berlangsung sejak lama. Menurutnya, sejak awal kemerdekaan, militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam politik dan pemerintahan.
"Pada masa Orde Lama, keterlibatan militer dilegitimasi melalui doktrin 'Dwifungsi ABRI' yang kemudian dipertahankan dan diperkokoh di era Orde Baru, di mana militer menguasai berbagai jabatan sipil, memengaruhi pembentukan kebijakan hukum, dan menjaga kekuasaan eksekutif," kata dia.
Bhatara mengatakan, pola ini tidak sepenuhnya hilang pasca reformasi, tetapi justru bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih soft melalui regulasi dan kebijakan hukum. Dalam konteks tersebut, Bhatara menyoroti adanya kompetisi di antara aparat penegak hukum dalam mempertahankan dan memperluas kewenangannya, yang kerap mengarah pada dominasi dan okupasi terhadap ranah hukum sipil.
"Di sektor militer, perubahan tersebut tampak melalui revisi Undang-Undang TNI yang memperpanjang usia pensiun prajurit, sehingga memperpanjang masa pengaruh militer dalam struktur negara. Sementara itu, di kejaksaan, penyempurnaan ini terwujud melalui revisi Undang-Undang Kejaksaan pada tahun 2021, termasuk pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang membuka ruang bagi peran militer di ranah penegakan hukum sipil," jelas Bharata.
Di ranah peradilan, Mahkamah Agung bahkan meminta keterlibatan aparat militer untuk mengamankan proses pemberantasan korupsi, yang menurutnya berpotensi memperluas legitimasi militer di luar fungsi pertahanan negara.
Lebih jauh, Bhatara mengkritik bahwa komisi-komisi independen yang dibentuk untuk mengawasi penegakan hukum, justru dirancang dengan kewenangan yang lemah sehingga tidak mampu menjadi penyeimbang kekuasaan.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar