Oleh : Rum Irbah Tsabita
Penulis Mahasiswi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Analis Pemantauan Peraturan Perundang-Undangan Legislatif
Beberapa proyek tersebut merupakan pembagunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) antara lain PLTU Batang (2x 1000 MW Jawa Tengah), PLTGU Muara Tawar (650 MW add-on Bekasi/Jabodetabek), PLTGU Tambak Lorok Blok 3 (779 MW, Semarang), PLTU Indramayu 2, serta PLTU Tanjung Jati. Pembangunan pembangkit listrik tersebut tentu menimbulkan paradoks akan semangat transisi energi hijau, dimana pembangkit listrik tersebut senyatanya dibangun dengan skema besar, berbasis batu bara maupun fosil (gas) yang secara nyata keduanya adalah bahan dasar yang tidak ramah pada lingkungan. Meskipun dikatakan bahan baku fosil (gas) lebih baik dari pada batu bara, namun tetap saja menghasilkan emisi karbon yang berdampak pada efek rumah kaca. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, benarkah pembangunan pembangkit listrik seagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mengarah pada semangat perubahan transisi energi hijau?
Selain dari pada pembangunan PLTU dan PLTGU, arah untuk mencapai pemenuhan energi nasional juga didesain melalui transisi Energi Baru Terbarukan (EBT). EBT adalah salah satu bentuk pengelolaan alam yang berkelanjutan dan dikembangkan menjadi energi alternatif sebagai upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dikatakan demikian karena EBT menghasilkan polusi dan emisi yang sangat kecil/rendah sehingga minim dapat merugikan kesehatan maupun lingkungan makhluk hidup. Namun upaya peningkatan melalui EBT ini dalam implementasi di Indonesia justru menimbulkan permasalahan baru yang juga bertolak belakang dengan keadilan dan semangat pelestarian.
Sebagai contoh proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang telah menyebabkan defortasi, pengerukan danau, serta hilangnya praktik budaya seperti Waya Masapi. Proyek pemanfaatan panas bumi di Rantau Dedap, Sumatera Selatan yang juga menyebabkan defortasi, kekeringan, dan penggusuran petani serta kompensasi yang tidak adil. Ketimpangan antara manfaat dengan pengorbanaan lingkungan serta budaya masyarakat adat ini, telah memperkuat kebijakan pemerintah akan transisi energi mengesampingkan keadilan dan lebih berpihak kepada perusahaan. Sehingga dapat dikatakan transisi energi dalam lembar kebijakan dan implementasinya ini adalah paradoks antar hijau yang abu-abu.
Sehubungan dengan itu, jika memahami maksud keadilan sosial dalam konteks transisi energi semestinya antara beban dan manfaat tujuan pemenuhan energi haruslah seimbang. Maksudnya pemenuhan energi harus memperhatikan aspek keadilan, seperti hak-hak dasar masyarakat, hak atas lingkungan yang sehat, pekerjaan, serta pelestarian budaya dan tradisi. Hal ini juga dikarenakan banyak proyek-proyek pembangunan EBT kerap mengabaikan hak-hak tersebut, seperti dalam kasus proyek panas bumi di Rantau Dedap yang menyebabkan defortasi dan pencemaran air serta hilangnya lahan masyarakat adat di Halmahera Tengah.
Upaya delineasi batas Hutan Hujan Tropis Warisan Sumatra atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (THRS) yang diajukan pemerintah ke UNESCO untuk proyek EBT yang bertentangan dengan semangat pelindungan biodiversitas dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. ketimpangan akses terhadap energi bersih, di mana masyarakat miskin dan terpencil, seperti di Pulau Saponda, justru tidak merasakan manfaat dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang gagal berfungsi. Contoh-contoh tersebut semakin menguatkan transisi energi yang inklusif dan adil, yang tidak hanya memperhatikan aspek teknis, tetapi juga menjamin hak dan akses yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat belum dapat terpenuhi.
Meskipun upaya transisi energi ini masih menghadapi tantangan dan permasalahan, namun pemerintah harus tetap mengupayakan dengan maksimal pengurangan emisi dan ketimpangan energi di Indonesia. Karena bagaimanapun hanya dengan kebijakan dan komitmen pemerintah kontribusi unutuk mencegah dan mengurangi efek kerusakan lingkungan ini dapat diwujudkan secara optimal. Langka-langkah yang dapat dilakukan untuk mengawal dan mendorong transisi energi maka diperlukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
Penting untuk mengikusertakan masyarakat lokal, utamnya masyarakat adat dan kelompok rentan dalam tahap perencaaan dan implementasi proyek pembangunan energi. Partisipasi aktif dari masyarakat dapat memastikan bahwa kebijakan dan proyek pembangunan energi ditujukan dengan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan mereka bukan hanya perusahaan atau pemangku kebijakan. Seperti, pada PLTA Poso Dimana pemerintah dan perusahaan melakukan konsultasi yang lebih masif dengan masyarakat adat Pamona untuk memastikan proyek pembangunan tidak mengurangi atau menghapus budaya dan sumber penghidupan warga masyarakat sekitar.
Dikemukakan pelaksanaan dan kebijakan transisi energi ini menghadapi tantangan dan permasalahan tidak hanya dikalangan nasional melainkan juga dikalangan global.
Dikatakan oleh Paul Robbins dalam buku “Political Ecology: A Critical Introduction” Permasalahan dan tantangan tersebut seringkali berdimensi sosial-ekologis yang ditanggung oleh masyarakat di negara-negara berkembang. Bahwa secara umum, klaim energi berkelanjutan dan hijau ditelusuri dan ditarik sampai pada rantai pasok sumber daya yang digunakan, termasuk ekstraksi bahan mentah yang digunakan untuk menjadi energi. Sebagaimana yang misal pada proyek PLTGU yang jika masih menggunakan fosil (gas) tetap tidak dapat dikatakan sebagai energi hijau. Pada kondisi ini-lah tuntutan keadilan ekologis dan sosial dalam transisi energi mengalami distraksi dan gejolak penolakan.
Terakhir, menepis transisi energi dengan praktik kolonialisme ekstraktif maka penting dilakukan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek pembangunan energi, informasi mengenai dampak lingkungan dan sosial dari proyek pembagunan energi tersedia secara terbuka dan mudah bagi masyarakat perlu untuk dipastikan.
Selain itu menghindari paradoks hijau yang abu-abu, pemerintah juga perlu untuk membentuk mekanisme pengawasan independen untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi peraturan yang berlaku dan memberikan kompensasi yang adil bagi masyarakat terdampak. Bahwa selanjutnya, agar proyek pembangunan energi dirancang dengan mempertimbangkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta ramah lingkungan. Secara konkret pelaksanaan monitorium sementara terhadap proyek-proyek yang merusak lingkungan dan mengancam sumber pangan lokal harus segera dilakukan.
Di sisi lain, peningkatan partisipasi masyarakat, penerapan prinsip keadilan transisi, perlindungan hak-hak masyarakat, peningkatan akses terhadap energi bersih, transparansi dan akuntabilitas, pembangunan berkelanjutan, dan pemberdayaan ekonomi lokal semestinya dapat ditingkatkan serta dioptimalkan. Dengan demikian, kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat, transisi energi di Indonesia berisiko menjadi alat eksploitasi baru yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kategori : Opini
Editor : ARS

Posting Komentar